Monday, January 25, 2010

URBUUN (Down Paiment/ DP)

-->
PENDAHULUAN

Setiap orang tidak mungkin bisa lepas dari orang lain yang menutupi kebutuhannya. Interaksi antar individu manusia adalah perkara penting yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam. Khususnya yang berhubungan dengan pertukaran harta. Oleh karena itu Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisaa’ 4: 29)
Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan pertukaran harta dapat dilakukan dengan perniagaan yang berasaskan saling suka diantara para transaktornya.

Dewasa ini banyak sekali berkembang sistem perniagaan yang perlu dijelaskan hukum syariatnya, apalagi dimasa kaum muslimin sudah menjauh dari agamanya, ditambah lagi ketidak mengertian mereka terhadap syariat Islam. Salah satu sistem perniagaan tersebut adalah jual beli dengan panjar atau uang muka atau DP.
PEMBAHASAN
A. Pengertiannya
Panjar (Down of Payment) dalam bahasa Arab adalah ‘Urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, Urbaan (الأربان), ‘Urbaan (العربان) dan Urbuun (الأربون) Secara bahasa artinya yang jadi transaksi dalam jual beli.
Berkata penulis kitab Al Mishbah Al Munier (hal. 401): Al Arabun dengan difathahkan huruf ‘Ain dan Ra’nya. Sebagian ulama menyatakan, yaitu seorang membeli sesuatu atau menyewa sesuatu dan memberikan sebagian pembayarannya atau uang sewanya kemudian menyatakan: Apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka itu untukmu dan aku tidak meminta kembali darimu. Dikatakan Al ‘Urbun dengan wazan ‘Ushfur dan Al ‘Urbaan dengan huruf nun asli.
Al Ashma’i menyatkan: Al ‘Urbun adalah kata ajam (non arab) yang diarabkan.
Bentuk jual beli ini dapat diberi gambaran sebagai berikut:
Sejumlah uang yang dibayarkan dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai harga dan bila saya tidak jadi mengambil (barang itu), maka uang (DP) tersebut untukmu.
Bentuk jual beli ini biasanya juga terjadi dalam sistem jual beli salam (pesanan), yaitu penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu yang penyerahannya ditangguhkan sedangkan pembayarannya disegerakan.
Jelas disini bahwa sistem jual beli ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi.
B. Hukum Jual beli dengan uang muka
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
1. Jual beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah.
Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.
Al Khothobi menyatakan: Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen) menilainya tidak sah.
Ibnu Qudamah menyatakan: Ini pendapat imam Malik, Al Syafi’i dan Ash-hab Al Ra’yi dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri.
Dasar argumentasi mereka di antaranya:
a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ فِيمَا نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ ثُمَّ يَقُولُ أُعْطِيكَ دِينَارًا عَلَى أَنِّي إِنْ تَرَكْتُ السِّلْعَةَ أَوْ الْكِرَاءَ فَمَا أَعْطَيْتُكَ لَكَ

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Malik menyatakan: Dan menurut yang kita lihat –wallahu A’lam- (jual beli) ini adalah seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan: Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.
b. Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya. Sedangkan memakan harta orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisaa’ 4: 29)
Imam Al Qurthubi dalam Tafsirnya (5/150) menyatakan: Diantara bentuk memakan harta orang lain dengan bathil adalah jual beli dengan panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena termasuk jual beli perjudian, ghoror, spekulatif, dan memakan harta orang lain dengan batil tanpa pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut ijma’.
c. Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. Padahal Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يحل سلف وبيع ، ولا شرطان في بيع . رواه الخمسة
Tidak boleh ada hutang dan jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli (HR Al Khomsah).
Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan: Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya. Ibnu Qudamah menyatakan: Inilah Qiyas (analogi).
Pendapat ini dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau: Yang rojih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqih…. ‘Illat (sebab hukum) dari larangan ini adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.
2. Jual beli ini diperbolehkan.
Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.
Al Khothobi menyatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan: Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah pendapat Umar, yaitu tentang kebolehannya. Ahmad pun melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual beli ini, Karena terputus.
Dasar argumentasi mereka adalah:
a. Atsar yang berbunyi:
عَنْ نَافِعِ بْنِ الحارث, أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ, فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ , وَ إِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَ كَذَا

Diriwayatkan dari Nafi bin Al-Harits, ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.
Atsar ini dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (5/392) dan Al Bukhori secara mu’allaq (lihat Fathul Bari 5/91) dan Al Atsram meriwayatkannya dalam kitab Sunnahnya dari jalan periwayatan Ibnu ‘Uyainah dari Amru bin Dinaar dari Abdurrahman bin Farukh dengan lafadz:
أن نافع بن عبد الحارث اشترى داراً للسجن من صفوان بن أمية بأربعة آلاف درهم، فإن رضي عمر فالبيع له، وإن عمر لم يرض فأربعمائة لصفوان .
Demikian juga Abdurrazaaq dalam Mushonnafnya (5/148-149), Al Baihaqi dalam sunannya 6/34, Al Azraaqi dalam Akhbaar Makkah 2/165 dan Al Fakihi dalam Akhbaar Makkah 3/254 seluruhnya dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah.
Dalam sanad ini ada Abdurrahman bin Farukh Maula Al ‘Adawi, Al Haafidz ibnu Hajar dalam Al Taqrieb hal 254 menyatakan: Maqbul dari tabaqat ketiga dan imam Al Bukhori tidak secara gamblang menyebutnya.
Ibnu Hibaan menyebutnya dalam kitab Al Tsiqaat 7/87 dan Al Dzahabi tidak berkomentar dalam Al Miezaan 2/582 serta Muslim menyebutkannya dalam kitab Al Wihdaan hal 117 termasuk orang yang Amru bin Dinar bersendirian meriwayatkan hadits darinya dan Al Bukhori tidak memberikan keterangan tambahan dalam tarikhnya 5/337 selain menyatakan Abdurrahman bin Farukh maula Umar bin Al Khothob dari bapaknya.
Al Haafidz dalam Fathul Bari 5/91-92 menyatakan bahwa Umar bin Syubah meriwayatkannya dalam Akhbar Makkah dari jalan Ibnu Juraij dengan menghapus Abdurrahman dan yang benar bahwa Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Abdurahman ini juga, sebagaimana disampaikan Abdurrazaq dalam Mushonnafnya 5/147-148.
Riwayat ini dapat dijadikan hujjah, sebagaimana dilakukan imam Ahmad bin Hambal.
Al-Atsram berkata: Saya bertanya kepada Ahmad: “Apakah Anda berpendapat demikian?” Beliau menjawab: “Apa yang harus kukatakan? Ini Umar rodhiyallohu ‘anhu (telah berpendapat demikian).
Demikian juga Ibnul Qayyim menukilkannya dari beliau pada Bada’i Al Fawa’id 4/84.
Ditambah kisah ini telah masyhur dikalangan para ulama dan penulis sejarah Makkah seperti Al Azraaqi, Al Fakihi dan Umar bin Syubah hingga diriwayatkan penjara ini masih ada sampai zaman Al Fakihie. Wallahu A’lam.
b. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli ini. Kelemahannya karena semua jalan periwayatannya kembali kepada orang tsiqah yang mubham (tidak disebut namanya). Ini karena imam Malik menyatakan: Telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Malik di Muwatha’. Sedangkan dalam riwayat Abu Daud dan ibnu Majah diriwayatkan imam Malik menyatakan: telah sampai kepada kami bahwa Amru bin Syu’aib …. Ini tentu saja menunjukkan adanya perawi yang dihapus antara Malik dengan Amru bin Syu’aib. Adapun ibnu Majah meriwayatkan dari jalan lain, namun ada perawi bernama Abu Muhammad Habieb bin Abi Habieb Katib Malik yang matruk (lemah sekali) dan Abdullah bin Amir Al Aslami yang juga lemah.
Hadits ini dinilai lemah oleh Imam Ahmad, Al Baihaqi, Al Nawawi, Al Mundziri, Ibnu Hajar dan Al Albani.
c. Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya.
d. Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, maka batallah analogi tersebut, dan hilanglah sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
e. Jual beli ini tidak dapat dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi antara untung dan buntung. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulugh Al Maram hal. 100 menyatakan: ketidak jelasan dalam jual beli Al Urbun tidak sama dengan ketidak jelasan dalam perjudian, karena ketidak jelasan dalam perjudian menjadikan dua transaktor tersebut berada antara untung dan buntung, adapun ini tidak, karena penjual tidak merugi bahkan untung dan paling tidak barangnya dapat kembali. Sudah dimaklumi seorang penjual memiliki syarat hak pilih untuk dirinya selama satu hari atau dua hari, dan itu diperbolehkan. Dan jual beli dengan uang muka ini menyerupai syarat hak pilih tersebut. Hanya saja penjual diberi sebagian dari pembayaran apabila barang dikembalikan, karena nilainya telah berkurang bila orang mengetahui hal itu walaupun hal ini didahulukan namun ada maslahat disana. Juga ada maslahat lain bagi penjual karena pembeli bila telah menyerahkan uang muka akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya. Demikian juga ada maslahat bagi pembeli, karena ia masih dapat memilih mengembalikan barang tersebut bila menyerahkan uang muka. Padahal bila tidak tentu diharuskan terjadinya jual beli tersebut.
3. Pendapat Para Ulama zaman ini.
Syeikh Abdulaziz bin Baaz mantan Mufti Agung Saudi Arabia Rohimahullah pernah ditanya :
Apa hukum melaksanakan jual beli sistem panjar (Al Urabun) apabila belum sempurna jual belinya. Bentuknya adalah dua orang melakukan transaksi jual beli, apabila jual beli sempurna maka pembeli menyempurnakan nilai pembayarannya dan bila tidak jadi maka penjual mengambil DP (panjar) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?
Beliau menjawab:
Tidak mengapa mengambil DP (uang panjar) tersebut dalam pendapat yang rojih dari dua pendapat ulama, apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan (tidak disempurnakan).
Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa kerajaan Saudi Arabia)
a. Fatwa no. 9388 yang berbunyi:
pertanyaan: Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (’Urbuun) dari pembeli dan dalam keadaan pembeli gagal membeli atau mengembalikannya apakah penjual berhak secara hukum syari’at mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada pembeli?
Jawaban: Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.
Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.
b. Fatwa no. 19637 menjawab pertanyaan:
Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?
Jawaban: Jual beli dengan DP (’Urbuun) diperbolehkan. Jual beli ini dengan membayar seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang. Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya. Jual beli sistem panjar (’Urbuun) ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’i menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang. Kebolehan jual beli ‘Urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khothob rodhiyallohu ‘anhu.
Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini: boleh. Dan dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma beliapun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin menyatakan: diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka.” Adalah hadits yang lemah (Dhoif), imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.
Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.
Majlis Fikih Islam pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.
Fatwa Al Hai’at Al Syar’iyah Li Syarikat Al Raajihi Al Mashrafiyah Lil Istitsmaar (Dewan syari’at Bank Islam Al Rajihi KSA), ketetapan no. 99.
Dengan demikian yang rojih –insya Allah- adalah pendapat yang membolehkannya. Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka (panjar) tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
Siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya.
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan dengan seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya, ada kala karena sangat rugi atau sudah tidak butuh lagi atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).
PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa urbuun/ uang panjar ini telah menjadi suatu metode jual beli yang banyak dilakukan di kalangan masyarakat, dan telah terjadi sejak lama.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai jual beli dengan sistem ini. Mayoritas ulama menghukumi jenis jual beli ini adalah tidak sah. Hal ini didasarkan kepada firman allah yang melarang sorang muslim untuk memakan harta orang lain dengan bathil.
Sebagian ulama yang lainnya menyatakan bahwa jual beli semacam ini adalah sah, sebagai mana dikemukakan oleh ulama madzhab hanbaliyah. Mereka berpendapat bahwa Jual beli ini tidak dapat dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi antara untung dan buntung, dan Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan.


UNSUR DAN FUNGSI PAJAK

UNSUR DAN FUNGSI PAJAK
I. PENDAHULUAN
Mengapa suatu Negara harus memungut pajak dari warganya? Dapatkah suatu Negara sama sekali tidak melakukan pemungutan pajak? Apakah tidak ada alternative lain untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan selain dengn melakukan pemungutan pajak ?


SISTEM MONETER ISLAMI

-->
PENDAHULUAN

Ekonomi moneter merupakan salah satu bidang yang dibahas dalam ekonomi Islam. Ilmu moneter adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari tntng sifat serta pengaruh uang terhadap kegiatan ekonomi. Banyak topik yang dibahas dalam kajian moneter dalam bidang ekonomi diantaranya peranan dan fungsi uang uang, sistem moneter dan pengaruhnya terhadap jumlah uang dan kredit, struktur dan fungsi bank, pengaruh uang dan kredit dalam prekonomian, stabilitas ekonomi, distribusi pendapatan, dan masih banyak lagi.
Sebagaimana kita ketahui, dalam kehidupan ekonomi, uang ibarat darah dalam tubuh manusia. Oleh karenanya, uang memiliki nilai (dalam fungsinya) pada aktivitas ekonomi. Dalam islam permintaan akan uang terutama dalam transaksi dan kebutuhan kebanyakan ditentukan oleh tingkat pendpatan dan distribusinya. Permintaan spekulatif akan uang pada dasarnya dipicu oleh fluktuasi tingkat suku bunga dalam perekonomian kapitalis. Penurunan tingkat suku bunga yang disertai dengan harapan akan mningkat merangsang orang atau perusahaan untuk tetap menyimpan uangnya. Karena dalam perekonomian kapitalis bunga seringkali berfluktuasi. Dengan penghapusan bunga ini dan kewajiban akan zakat 2,5% setahun dapat meminimalisir permintaan spekulatif akan uang.
PEMBAHASAN

A. Kebijakkan Moneter
Ilmu moneter merupakan bidang kajian ilmu ekonomi moneter. Ilmu ekonomi moneter adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari sifat serta pengaruh uang terhadap kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi pada umumnya diartikan suatu kegiatan yang mempengaruhi tingkat pengangguran produksi, harga dan hubungan perdagangan atau pembayaran internasional. 3 alasan mempelajari kebijakan moneter dalam ekonomi islam:
  1. Mengetahui lebih dalam mengenai mekanisme uang, bagi hasil, lembaga keuangan, sistem dan kebijakan moneter, serta mekanisme ekonomi bagi hasil.
  2. Menganalisa fenomena moneter dalam kaitannya dengan efek kebijaksanaan moneter terhadap kegiatan ekonomi islam.
Sektor moneter merupakan jaringan yang penting dan mempengaruhi sektor ekonomi riil. Kebijakan moneter merupakan instrument penting dari kebijakan publik dalam sistem ekonomi baik modern maupun islam. Namun perbedaan yang mendasar terletak pada tujuan dan larangan bungan dalam islam. Syarat tercapai dan terjamin berfungsinya sistem moneter secara baik adalah Otoritas moneter harus melakukan pengawasan kepada keseluruhan sistem.
B. Tujuan-Tujuan Kebijakan Moneter Islam:
Menurut Umer Chapra
O Kelayakan ekonomi yang luas berlandaskan full employment dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum
O Keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan
O Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium of exchange dapat dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penangguhan pembayaran, dan nilai tukar yang stabil
O Penagihan yang efektif dari semua jasa biasanya diharapkan dari sistem perbankan
Dari ke 4 tujuan diatas sekilas hampir sama dengan sistem kapitalis. Akan tetapi kalau dikaji lebih dalam, ada perbedaan penekanan dan komitmen yaitu tentang nilai-nilai spritual, keadilan sosio ekonomi dan persaudaraan manusia.
C. Instrumen Kebijakan Moneter
a. Target pertumbuhan dalam M dan Mo
b. Peran serta masyarakat dalam permintaan tabungan
c. Penyediaan cadangan yang sesuai dengan ketentuan
d. Alokasi kredit yang berorientasi pada nilai
e. Sertifikat deposito
D. Sumber Ekspansi Moneter
Fungsi utama sistem moneter adalah melengkapi kebutuhan transaksi masyarakat, khususnya dalam rangka menumbuhkan ekonomi. Dari pendekatan ekonomi islam, ada 3 sumber ekspansi moneter, yaitu:
  1. Defisit Fiskal
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengambil sumber-sumber riil pada laju yang lebih cepat dari yang berkesinambungan pada tingkat harga stabil, dapat menimbulkan peningkatan defisit fiskal dan mempercepat penawaran uang sehinga menambah laju inflasi. Defisit fiskal yang besar menjadi sebab utama kegagalan memenuhi target suply uang. Semakin besar ketergantungan pemerintah kepada sistem perbankan, maka semakin sukar bagi bank sentral untuk melakukan suatu kebijakan moneter yang konsisten.
  1. Credit Money/ Penciptaan Kredit Bank Komersial
Deposito bank komersial merupakan bagian penting dari penawaran uang. Deposito ini dapat dibagi kedalam dua bagian. Pertama, deposito primer yang menyediakan system perbankan dengan basis uang (uang kontan dalam bank + deposito di bank sentral). Kedua, deposito derifatif yang dalam sebuah sistem cadangan proposional mewakili uang yang diciptakan oleh bank komersial dalam proses perluasan kredit dan merupakan sumber utama ekspansi moneter. Depositoderifatif demikian akan menimbulkan suatu peningkatan penawaran uang, seperti halnya mata uang yang dikeluarkan oleh pemerintah atau bank sentral.
  1. Surplus neraca pembayaran
Hanya sebagian kecil Negara muslim yang mengalami surplus neraca pembayaran, sedangkan sebagian besar menalami defisit. Bagi mereka yang mengalami surplus, surplus tersebut tidak meneybabkan ekspansi otomatis dalam penawaran uang. Ia terjadi hanya karena pemerintah menguangkan surplus tersebut dengan membelanjakannya secara domestik. Jika dalam suatu negara dengan surplus, pengeluaran pemerintah diatur menurut kapasitas ekonomi untuk menghasilkan penawaran riil.
E. Instrumen Keuangan
Fungsi fundamental yang ke dua dari sistem moneter dan keuangan adalah harus mendorong penanaman sumber dan pengalokasiannya ke investor. Dalam sistem konvensional dilakukan oleh lembaga perantara keuangan yang didasarkan pada tingkat bunga fix, sedangkan dalam ekonomi bebas dilakukan dengan sistem bagi hasil. Uang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem ekonomi modern. Adapun fungsi uang :
1. Uang sebagai alat tukar
2. Uang sebagai satuan pengukur nilai
3. Uang sebagai alat penimbun/penyimpan kekayaan
Sedang dalam islam fungsi nomer tiga diakui sebagi sebuah fungsi uang karena brtentangan dengan kaidah syariah.
Keadaan riil menunjukkan bahwa perkembangan pasar uang dunia saat ini, sebagian besar dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri. Hanya 5% dari transaksi di pasar uang yang berkaitan dengan transaksi barang dan jasa. Bahkan volume transaksi pasar barang dan jasa hanya 1,5% dibandingkan dengan turn over transaksi di pasar uang. Ekonomi klasik mengatakan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (Direct Utility Junction), hanya bila uang itu digunakan untuk membeli barang, maka barang itu akan memberikan kegunaan.
Teori Ekonomi Neo Klasik mengatakan kegunaan uang timbul dari daya beli. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung (Indirect Utility Function). Dua Fungsi fundamental uang pada sistem finansial secara keseluruhan:
1. Memungkinkan terjadinya likuiditas secara mencukupi, sehingga produksi dan tukar menukar dapat terjadi secara wajar
2. Termobilisasinya pendapatan, sumber daya dan pengalokasian investor secara sesuai.
Berkaitan dengan fungsi uang diatas, maka keberadaan lembaga dan pengatur peredaran uang diperlukan. Seperti yang dijelaskan oleh Munawar Iqbal dan M. Fahim khan “A survey of Issues and A Programme for Research in monetary and Fiscal Economics of Islam”:
Teori moneter modern, penimbunan uang berarti menghambat atau memperlambat perputaran uang yang berarti semakin kecil transaksi yang terjadi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Sedangkan peleburan uang berarti mengurangi jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Berikut ini adalah kaitan uang dengan perekonomian:
1. Uang dan Nilainya
Masyarakat selalu mengatakan fungsi uang mempengaruhi simpanan. Menurut ekonomi konvensional, bahwa orang yang menumpuk uang bahwa berarti ia telah mengumpulkan nilai materi sampai uang yang tertumpuk itu dapat mencapai kekuatan daya beli. Pandangan demikian adalah keliru. Menurut Imam Ghazali dan Ibnu Khaldun, Uang bukan sesuatu yang menguntungkan. Angka yang tertera tidak menguntungkan dan tidak bernilai. Dasar kehidupan ekonomi adalah produksi, yang merupakan hasil usaha dari individu-individu. Selama uang masih dikaitkan dengan produksi, maka tidak ada cara apapun yang dpat membuatnya bernilai. Uang tidak akan bernilai jika tidak digunakan sebagai alat pembayaran. Maka uang yang ditumpuk tidak sama dengan uang yang beredar. Jadi uang tidak untuk disimpan atau ditumpuk saja tapi harus diproduksi.
2. Uang dan Ukuran Nilai
Bila uang diterima sebagai alat pembayaran, maka otomatis terkait dengan uang sebagai alat ukur. Proporsi pertukaran uang dengan komoditi tidak selalu stabil, oleh karena itu sering kita mendengar nilai uang suatu bangsa turun naik. Hal ini berarti daya beli uang negara tersebut naik dan turun. Ketidakstabilan dan ketidak menentuan nilai uang adalah akar penyebab penyakit ekonomi modern.
3. Permintaan dan penawaran uang
Kenyataannya permintaan uang sama dengan permintaan barang yang ditawarkan. Oleh karena itu, permintaan barang yang tidak terbeli maka akan terjadi penumpukan persediaan. Tidak ada seorangpun yang memerlukan uang untuk mendapatkan uang kembali. Hal ini karena uang tidak bermanfaat.
Teori permintaan dan penawaran uang dalam ekonomi islam:
a. Permintaan Uang menurut Mazhab Iqtishoduna
Menurut mazhab ini, permintaan uang hanya ditujukan untuk 2 tujuan yaitu transaksi dan berjaga-jaga atau untuk investasi.
b. Permintaan Uang menurut Mazhab Mainstream
Permintaan uang dikategorikan dalam 2 hal yaitu permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga. Landasan filosofis teori dasar permintaan uang ini adalah bahwa Islam mengarahkan sumber-sumber daya yang ada untuk dialokasikan secara maksimum dan efisien. Pelarangan hoarding money atau penimbunan kekayaan merupakan “kejahatan” penggunaan uang yang harus diperangi. Pengenaan pajak terhadap aset produktif yang menganggur merupakan strategi utama yang digunakan oleh mazhab ini. Ini dilakukan untuk mengalokasikan setiap sumber dana yang ada pada kegiatan usaha produktif. Penerapan kebijakan ini berdampak pada pola permintaan uang untuk motif berjaga-jaga. Semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap aset produktif yang dianggurkan, maka permintaan terhadap aset ini akan berkurang. Oleh karena itu orang berusaha untuk memperkecil pajak yang dibayarkan kepada pemerintah dengan cara mengurangi kekayaan yang idle. Hal ini berarti velocity of money akan meningkat, dengan meningkatnya komponen ini maka akan mengurangi permintaan uang untuk berjaga-jaga dan sekaligus akan meningkatkan permintaan uang untuk transaksi. Peningkatan uang yang digunakan untuk transaksi dan investasi akan berdampak pada peningkatan pendapatan nasional.
c. Permintaan Uang menurut Mazhab Alternatif
Permintaan uang menurut mazhab ini terkait erat dengan konsep endogenous uang dalam Islam. Konsep ini dalam Islam secara sederhana diartikan sebagai: “Keberadaan uang pada hakikatnya adalah representatif dari volume transaksi yang ada dalam sektor riil”. Konsep ini menjebatani dan tidak mendikotomi antara pertumbuhan uang disektor moneter dan pertumbuhan nilai tambah uang disektor riil.
Islam menganggap bahwa perubahan nilai tambah ekonomi tidak dapat didasarkan semata-mata pada perubahan waktu. Nilai tambah uang terjadi jika dan hanya jika ada pemanfaatan secara ekonomis selama uang tersebut digunakan. Dengan demikian, tidak selalu nilai uang harus bertambah walau waktu terus bertambah, akan tetapi nilai tambahnya akan tergantung dari hasil yang diusahakan dengan uang itu.
4. Pentingnya uang dalam perekonomian
Kehidupan ekonomi merupakan mata rantai hubungan dari permintaan, persediaan dan penawaran yang tidak pernah putus. Oleh karena itu, kita perlu mempertahankan kelancaran arus peredaran uang agar transaksi yang efisien, proses memberi dan jual beli dapat berlangsung.
Oleh karena itu, dalam Islam, penumpukan uang (Kanz) dilarang. Karena dapat menutup arus peredaran. Akibatnya akan menghambat efisiensi usaha dan pertukaran komoditas produksi dalam perekonomian. Jika demikian maka kemakmuran tidak akan tercapai.
Perjalanan ekonomi sangat tergantung dengan uang dan modal. Dalam ekonomi konvensional, tidak adanya perbedaan antara uang dan modal. Namun dalam konsep ekonomi Islam, uang dan modal merupakan sesuatu yang berbeda. Dimana uang adalah milik masyarakat, sedangkan modal adalah milik individu. Jadi barang siapa yang menimbun uang (atau membiarkan tidak produktif) berarti akan memberikan pengaruh negatif terhadap perekonomian nasional. Sedangkan modal adalah milik pribadi. Dalam Islam, modal adalah objek zakat. Jadi kalau modalnya tidak diproduktifkan akan habis digerogoti oleh zakat. Resiko dapat diminimumkan dengan melakukan qard (meminjamkan modal) tanpa mengambil imbalan apapun kecuali dengan kerjasama dengan sistem bagi hasil.
F. Transfer Dana Dalam Sistem Moneter Islam
Perputaran uang pada dasarnya adalah dari surplus unit kedefisit unit. Dalam perputara ini bisa berbentuk transaksi bisnis dengan sistem bagi hasil ataupun transaksi tabarru’ tidak mengharapkan imbalan.. Inti mekanisme bagi hasil pada dasarnya terletak pada kerja sama yang baik antara shahibul mal dengan Mudharib. Kerja sama merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam. Kondisi ini dapat dilihat pada hubungan antara kaum muhajirin dan kaum anshar.
Kerja sama ekonomi harus dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi, yaitu: Produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerja sama dalam bisnis islam adalah Qirad atau Mudharabah. Qirad atau Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui Qirad atau Mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari proyek ekonomi yang disepakati bersama.
Dalam era modern ini kegiatan ekonomi tidak bisa lepas daari peran lembaga keuangan. Lembaga keuangan (bank) sebagai lembaga perantara antara pihak surplus dana kepada pihak minus dana menjalankan fungsi:
1. Pengumpulan Dana
Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan jasa simpanan/tabungan yang bentuknya bisa terikat dan tidak terikat atas jangka waktu dan syarat-syarat tertentu dalam penyertaan dan penarikannya.
Adapun akad yang melandasi kegiatan simpanan ini:
a. Simpanan wadiah,
Merupakan titipan dana yang tiap waktu dapat ditarik pemiliknya atau anggota dengan cara mengeluarkan semacam surat berharga pemindahbukuan/transfer dan perintah membayar lainnya. Simpanan wadiah dikenakan biaya administrasi namun oleh karena dana yang dititipkan diperbolehkan diputar oleh pengelola, maka penyimpan dana akan mendapat bonus sesuai dngan jumlah dana yang berperan dalam pembentukan keuntungan bagi pengelola.
b. Tabungan Mudharabah
Tabungan pemilik dana yang penyetorannya dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Pada simpanan mudharabah tidak diberikan bunga namun bagi hasil.
2. Penyaluran dana
Lembaga keuangan (Bank) islam juga merupakan lembaga bisnis dalam rangka memperbaiki perekonomian umat. Sehingga dana yang dikumpulkan harus disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan.
Pinjaman dana kepada anggota disebut pembiayaan. Pembiayaan merupakan fasilitas yang diberikan lembaga keuangan (bank) Islam kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh lembaga keuangan islam tersebut dari masyarakat yang surplus dana.
Dari sudut pandang makroekonomi, pinjaman tanpa bunga akan menciptakan suatu sistem efisiensi dana untuk produksi atau konsumsi dengan asumsi yang meminjamkan dan yang meminjam memiliki informasi yang sempurna. Dana pinjaman ini biasanya dibayar tepat waktu dan tanpa biaya administrasi. Oleh karena itu, sistem ini mendorong peningkatan kesejahteraan umum dan ekspansi agregat supply.
Jenis pembiayaan yang dilakukan oleh bank islam:
a. Pembiayaan Bai’u Bithaman Ajil (BBA)
Pembiayaan yang berakad jual beli. Perjanjian antara bank Islam dengan nasabah, dimana Bank Islam menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudia proses pembayarannya dilakukan secara mencicil atau angsuran. Jumlah kewajiban yang harus dibayarkan oleh peminjam adalah jumlah atas harga barang dan marjin keuntungan yang disepakati.
b. Pembiayaan Murabahah (MBA)
Pembiayaan berakad jual beli. Pembiayaan ini merupakan kesepakatan antara Bank Islam sebagai pemberi modal dan nasabah (Debitur) sebagai peminjam. Prinsipnya sama dengan pembiayaan Bai’u Bithaman Ajil, hanya saja pengembaliannya dibayarkan pada saat jatuh tempo pengembaliaannya.
c. Pembiayaan Mudharabah (MDA)
Pembiayaan dengan akad syirkah. Perjanjian pembiayaan antara Bank Islam dan nasabah dimana Bank menyediakan dana untuk penyediaan modal kerja sedangkan peminjam berupaya mengelola dana tersebut untuk pengembangan usahanya.
d. Pembiayaan Musyarakah (MSA)
Pembiayaan dengan akad syirkah. Penyertaan Bank Islam sebagai pemilik modal dalam suatu usaha yang resiko dan keuntungan ditanggung bersama dan berimbang.
e. Pembiayaan Al-Qordhul Hasan (QH)
Pembiayaan dengan akad ibadah. Suatu bentuk perjanjian pembiayaan antara Bank Islam dengan Nasabah. Hanya nasabah yang dianggap layak yang mendapat pembiayaan ini.
f. Al Ijarah
Merupakan talangan dana sepenuhnya kepada nasabah dalam rangka untuk pengadaan barang ditambah dengan keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa tanpa diakhiri dengan kepemilikan. Bank sebagai leasor memberikan kesempatan kepada nasabah untuk memperoleh manfaat dari barang yang disewa untuk jangka waktu tertentu, dengan ketentuan nasabah akan membayar sejumlah uang pada waktu yang disepakati bersama. Apabila habis jangka waktunya, barang yang menjadi objek ijarah tetap menjadi milik bank.
g. Ba’iu Takjiri
Merupakan pembiayaan penuh yang merupakan talangan dana untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa yang di akhiri dengan kepemilikan. Prinsipnya hampir sama dengan sewa beli. Setelah habis pembayaran sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan maka objek atau barang yang disewabelikan tersebut menjadi milik nasabah.
Selain dalam bentuk pembiayaan penyaluran tabungan dalam investasi adalah infaq dan wakaf. Sebab keduanya mengandung unsur religi dan spiritual.
G. Praktek Bisnis Yang Dilarang:
Sudah menjadi syarat utama dalam transaksi adalah harus bebas dari larangan-larangan syariah islam. Dalam bukunya adiwarman karin disebutkan bahwapenyebab terlarangnya transaksi terbagi menjadi tiga kategori
1. Haram zatnya; transaksi dilarang karena objek yang ditransaksikan haram. Seperti daging babi, khamr, dll
2. Haram selain zatnya, karena melanggar prinsip suka rela contohnya tadlis, ihtikar, kedua karena melangar prinsip tidak mendhalimi dan didholimi seperti rekayasa pasar, bai najasy, taghrir/ gharar, dan riba
3. tidak sah/ lengkap akadnya, faktor faktor tidak lengkapnya akad yang ada seperti berikut; rukun dan syarat tidak terpenuhi, terjadinya ta’alluq, dan terjadinya two in one
H. Pasar Penghubung Unit Defisit Dengan Unit Surplus
Pada dasarnya kegiatan transaksi yang dilarang dalam operasionalisasi Bank Islam adalah seolah-olah melakukan jual beli atau sewa-menyewa uang dari bentuk mata uang yang sama dengan memperoleh keuntungan darinya.
Namun dalam islam ada Pasar modal (Stock Market), menurut iqbal dan khan mengenai pasar saham dalam kapitalis:
“Suffer from erratic fluctuation and low rates of divided which make them less attractive than no-risk, fixed return bonds”
Hal ini tidak dapat diterima karena dalam ekonomi islam dimana equity financing sangat dianjurkan. Hal ini diperlukan untuk menjamin bahwa pengusaha dapat meningkatkan kecukupan modal ekuitasnya tanpa kesulitan, dan investor dapat menjual sahamnya dan melakukan share dimana mereka membutuhkan likuiditas. Larangan Riba dapat dijadikan alat untuk menanggulangi terjadinya spekulasi, sehingga dapat memperkecil terjadinya fluktuasi harga saham.
I. Lembaga Keuangan (Lembaga Intermediasi)
Lembaga keuangan adalah ini bebas bunga atau lembaga keuangan yang menggunakan sistem bagi hasil.
Adapun lembaga keuangan islami yang sedang berkembang:
1. Perbankan Islam
2. Asuransi
3. Leasing (Ijarah)
4. Pegadaian Syariah (Rahn)
5. Reksadana Syariah
6. DPLK Syariah
7. BMT Koperasi Syariah
J. Perbankan Islam
Bank Islam adalah bank yang beroperasi tidak mengandalkan bunga. Dimana baik operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadist. Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang.
Bank sentral harus menjadi kunci dari sistem perbankan Islam karena melalui usahanya yang kreatif dan hati-hati sistem keuangan dan perbankan Islam dapat mengaktualisasikan dirinya. Bank sentral adalah lembaga yang dipercaya mengelola persediaan uang dengan melibatkan masalah fiat money seperti halnya pengawasan bank komersial. Bank sentral akan menentukan program tahunan pertumbuhan persediaan uang yang diharapkan sesuai dengan tujuan ekonomi nasional, Jika melihat dari sejarah:
a. Pada masa Pemerintahan khalifah Ali melakukan pencetakan uang dalam jumlah terbatas
b. Pada masa daulah mu’awiyah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan (75 H/695 Masehi) mencetak dirham khusus bercorak islam, dengan lafadz-lafadz islam yang ditulis dengan huruf arab gaya kufi. Dengan demikian, dinar persia tidak digunakan lagi. Barulah pada zaman Abdul Malik (76 Hijriyah) pemerintah mendirikan tempat percetakan uang di Daar Idjard. Suq ahwaj, Sus, Jay, Manadar, Maisan, Rai, Abarkubadh, dan mata uang khalifah dicetak secara terorganisir dengan kontrol pemerintah.
c. Pada masa Daulah Abasiyah II, Pemerintahan Kirbugha dan Zahir Barkuk pencetakan fullus tidak dikontrol sehingga menimbulkan inflasi dan memperburuk kondisi keuangan pemerintahannya.
K. Ciri-ciri Bank Islam:
1. Beban Biaya,
Beban biaya yang disepakati diantara para pihak untuk transaksi pembiayaan: Al-Qardul Hasan, digunakan istilah biaya administrasi atau biaya pelayanan. Sedangkan untuk pembiayaan al-Bai’u Bithaman Ajil dan al-Murabahah digunakan istilah margin keuntungan. Hal ini berarti:
a. Besarnya beban biaya tidak kaku dan dapat dilakukan tawar menawar dalam batas-batas yang wajar.
b. Beban biaya hanya dikenakan sampai batas waktu yang telah disepakati bersama dalam suatu kontrak baru untuk menyelesaikannya.
2. Tidak menggunakan persentase
Dalam hal pembebanan kewajiban membayar dalam semua kontrak bank Islam selalu menghindarkan penggunaan percentase. Sebab penggunaan persentase mempunyai potensi besar untuk melipatgandakan secara otomatis beban biaya dan pokok pinjaman yang karena sesuatu hal terlambat membayar.
3. Tidak ada keuntungan yang pasti
Pada dasarnya yang dilarang dalam kegiatan mu’amalah adalah mencantumkan keuntungan yang pasti ditetapkan pada waktu dilakukan aqad pembiayaan. Sedangkan yang diperkenankan dalam siistem mu’amalah Islami adalah kontrak yang dilakukan baik dalam bentuk pembiayaan al-mudharabah maupun al-musyarakah yang hakikatnya merupakan sistem yang didasarkan pada penyertaan dengan sistem bagi hasil.
4. Dalam simpanan digunakan prinsip al-wadi’ah
Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan, oleh penabung dianggap sebagai titipan, sedangkan pihak bank menganggapnya sebagai barang titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Islam. Itulah sebabnya penabung berhak atas bagi hasil dari keuntungan yang didapat dari usaha bank.
5. Jual beli uang yang sama dilarang
Menurut Al-Ghazali, uang bagaikan kaca, kaca tidak memiliki warna, tetapi ia dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak memiliki harga, tetapi uang bisa merefleksikan semua harga.
6. Jaminan keberadaan terhadap utang
Lazimnya pada bank konvensional bahwa jaminan kebebasan terhadap utang dari pemberian pinjaman merupakan hal yang sangat menentukan dalam persetujuan pemberian pinjaman. Sebaliknya dalam bank Islam, dalam memberikan pembiayaan tidak mengutamakan jaminan kebendaan kepada peminjam. Sebab barang yang ditalangi pembeliannya oleh bank masih menjadi milik bank sepenuhnya selama utang peminjam belum lunas.
7. Pendapatan non halal
Sebagaimana kehidupan masyarakat yang heterogen. Maka apabila ada pendapatan bank islam yang tidak halal, maka seperti yang dilakukan Islamic Development Bank, maka hasil transaksi tersebut dimasukkan ke “Rekening non-halal” yang penggunaannya diperuntukkan bagi masyarakat muslim yang terkena musibah, atau kebutuhan masyarakat lainnya yang bersifat sosial.