Saturday, November 5, 2011

ALARM DIRI


Ketika seseorang ditanya apakah mencuri, menipu, merampok, korupsi, menganiaya dan mendzolimi orang lain itu salah? Yakinlah semua akan menjawab : ya..! Lantas bagaimanakah seseorang dapat mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah salah meskipun tidak ada seorangpun yang dengan sengaja menanamkan dalam benak kita bahwa perbuatan tersebut salah. Akan tetapi hampir semua orang tahu betul bahwa perbuatan tersebut salah tak peduli apakah ia tahu dalilnya dalam agama atau tidak, bahkan tak peduli apapun Agama yang ia anut.
Lalu bagaimana carakita mengetahui yang benar dan yang salah. Bisakah kita mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk tanpa melalui Al-Qur’an dan Hadits Nabi.?? Jawabannya : Bisa..!
Allah SWT telah menciptakan suatu perangkat canggih dalam diri manusia yang berfungsi sebagai alat detektor kabaikan dan keburukan selain melalui ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Perangkat canggih tersebut biasa di sebut NURANI.
Seterbatas apapun ilmu kita, sedangkal apapun pengetahuan kita mengenai agama, semua itu tidak bisa menjadi alasan bagi kita untuk berbuat keburukan. Nurani akan selalu membimbing manusia dalam perjalanan hidupnya, dan hanya akan mengarah kepada hal-hal yang baik. Nurani akan memberikan sinyal ketidak tentraman di jiwa ketika ada keburukan mendekat. Nurani akan memberikan sinyal ketentraman di jiwa ketika ada kebaikan yang didapat.
“Mintalah fatwa kepada hatimu kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwa padanya, dan tentram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkanmu.” (H.R Muslim)
Mari jadikan nurani sebagai penasehat abadi. Ketika menghadapi keadaan yang butuh kejernihan pikiran, tanyakan pada nurani, kemudian pilih mana yang membuat jiwa kita tenang, itulah pilihan yang tepat. Itulah Kebenaran.
“Ketika Kita Akan Berlaku Salah, Nuranilah Yang Pertama Kali Berteriak Histeris Dan Sepontan Mengatakan Kepada Kita : ‘Jangan Lakukan..! Itu Perbuatan Buruk..!’”


"Takdir Gundulmu"

“TAKDIR GUNDULMU”

Pada suatu malam seorang santri di sebuah pesantren menyelinap keluar dari asramanya. Dengan langkah kaki yang berhati-hati ia segera menuju rumah ustadznya yang tidaki jauh dari pesantren. Namun ia bukannya akan menemui sang ustadz melainkan ia menuju pekarangan belakang rumah pak ustadz. Disana terdapat pohon mangga yang sedang berbuah sangat lebat. Dengan hati-hati ia segera memanjat pohon tersebut dan  memetik buah mangga satu persatu dan dimasukkan ke dalam karung yang telah ia persiapkan sampai karung tersebut terisi penuh. Kemudian ia turun dan menuju kamar pesantrennya. Sesampainya disana ia segera membagi-bagikan mangga curiannya tersebut kepada teman-temannya.
Keesokan harinya tanpa kesulitan sang ustadz dapat mengetahui siapa pelaku pencurian mangga di halaman rumahnya, rupanya beberapa santri yang tidak kebagian mangga melaporkan kepada sang ustadz siapa yang telah mencuri mangganya tersebut.
Si pelaku pun langsung diinterogasi oleh sang ustadz...
“Kenapa kamu mencuri..?” Tanya sang Ustadz.
Dengen entengnya santri itu menjawab “Sudah Takdir Ustadz...!”
“Takdir gundulmu”
Ustadz itupun menjewer telinga santrinya, hingga kepala sang santri muter-muter mengikuti arah jeweran.
Aduh, Sakit Ustadz. Kok saya di jewer sih, saya mencuri kan sudah Takdir Allah.. Jadi kalau Ustadz menghukum saya berarti ustadz menentang Takdir Allah...!”
Sang Ustadz dengan enteng menjawab, “Loh.. Jeweran ini kan juga Takdir Allah..!”

I’tibar
Konsep takdir seringkali difahami sebagai kepasrahan membabi buta bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh allah SWT. Jika hal tersebut yang terjadi maka akan seperti cerita diatas, segala kesalahan ia timpakan kepada allah.
Pemaknaan takdir seperti itu menjadikan sebahagian kita benar-benar pasif dalam menjalani kehidupan. Seolah pikiran telah terpola dengan kalimat, “Semua telah ditetapkan, Segala sesuatu telah di gariskan, Semua sudah ditakdirkan oleh Allah, Untuk apalagi saya berusaha terlalu keras, kalau Allah telah menakdirkan saya sukses, nanti datang juga kesuksesan itu dengan sendirinya..”
Kehidupan bukanlah sesuatu pemberian tuhan yang harus kita terima apa adanya (pasrah). Namun sebaliknya, sebagai mahluk yang merdeka, akan selalu ada ruang bagi manusia untuk menjatuhkan pilihannya. Kehidupan manusia sangat mungkin beralih dari takdir yang satu kepada takdir yang lain, tergantung kepada ikhtiar kita.
Bukankah Allah telah berfirman :“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S Ar : Rad : 11)
Dengan demikian pilihan/ikhtiar kitalah yang menentukan apakah kita akan menjadi orang baik atau buruk, sukses atau gagal, kaya atau miskin... dlsb...
Maka dari itu tentukan takdirmu sendiri mulai dari sekarang...

“Tidak Ada Takdir Tanpa Adanya Ikhtiar”
By : Saiful Amiq (Ketum HMI Kom. Syari’ah Demisioner 2010-2011)



Friday, September 23, 2011

IKHTIAR DAN TAKDIR (ANTARA KETETAPAN TUHAN DAN PILIHAN BEBAS MANUSIA)

ANTARA KETETAPAN TUHAN DAN KEHENDAK BEBAS MANUSIA
Oleh : Saiful Amiq (Ketum HMI Kom. Syari’ah 2010-2011)

Manusia merupakan puncak dari penciptaan Tuhan dan mahluk-Nya yang paling sempurna. Untuk itu manusia mengemban amanah sebagai khalifah dimuka bumi untuk mengelolanya. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala aktifitas yang ia lakukan dimyuka bumi.
Secara asasi manusia merupakan mahluk merdeka. Merdeka dalam artian ia bebas melakukan pilihan-pilihan terhadap segala hal yang kemudian akan ia pertanggungjawabkan. Karena indifidu adalah penanggungjawab mutlak atas perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah haknya yang asasi. Adalah suatu hal yang aneh ketika manusia diharuskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya atas dasar paksaan, bukan karena kehendak bebasnya.
Dalam Islam (Rukun Iman) mengenal adanya konsep Qadha dan Qadar (Takdir Ilahi). Seringkali konsep ini dipahami bahwa segala hal yang berkaitan dengan manusia adalah hak perogratif Tuhan dan telah ditentukan sebelumnya, termasuk didalamnya segala perbuatan manusia, rizki, jodoh, bahkan permasalahan apakah ia penghuni surga atau neraka.
Jika demikian maka kemerdekaan manusia telah dinafikan, maka untuk apa lagi manusia harus berikhtiar. Dan pantaskah mahluk yang tidak memiliki kemerdekaan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dilakukan atas dasar ”keterpaksaan”..?? lalu dimana letak keadilan Tuhan..?
Kata Qadha dan Qadar secara lughawi memiliki beberapa pengertian, diantaranya ; Kata Qadha dapat bermakna ”Hukum/ Keputusan” (Q.S An-Nisaa : 65), Qadha dapat bermakna ”Kehendak” (Q.S Ali Imron : 47). Kata Qadar bermakna ”Ukuran” (Q.S Al-Hijr : 21), Qadar dapat dipahami sebagai ukuran sesuatu/ menjadikan sesuatu pada ukuran tertentu/ menciptakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan.
Maka yang dimaksud dengan Qadar (Takdir) Ilahi adalah bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu serta telah menentukan/ menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kualitas, kuantitas, ruang dan waktu. Dan hal tersebut dapat terwujud dalam rangkaian sebab-sebab/ syarat. Sedangkan Qadha Ilahi adalah sampainya sesuatu kepada kepastian akan wujudnya setelah terpenuhinya sebab-sebab/ syarat sesuatu tersebut. Berdasarkan pengertian ini maka tahapan Qadar adalah lebih awal daripada tahapan Qadha, dan Qadha ini adalah akibat dari adanya qadar, maka Qadha akan mengalami perbedaan hasil ppada suatu peristiwa yang sama apabila terdapat perbedaan pada proses pemenuhan terhadap Qadar...
Untuk lebih memudahkan dalam memahami, berikut analoginya... :
Air akan membeku apabila didinginkan pada suhu 0o C. Maka untuk menjadikan air tersebut beku (Qadha), maka harus didinginkan pada suhu 0o C (Qadar/ pemenuhan sebab), dan ketika suhu tersebut tidak tercapai maka air tidak akan membeku (Qadha).
Untuk itu sebagai mahluk yang merdeka, manusia bebas menentukan takdir pribadinya melalui jalan berikhtiar melakukan pemenuhan rangkaian sebab-sebab/ syarat terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Dan hasil dari Ikhtiar inilah yang kemudian di sebut sebagai Takdir.
Sekalipun kebebasan merupakan esensi dari Manusia, namun bukan berarti ia merdeka atas segala tindakannya. Kebebasan manusia tetap harus tunduk kepada hukum-hukum unifersal Tuhan. Dan hukum-hukum ini tentunya memiliki konsekuensi logis terhadap pelakunya.
Amal perbuatan manusia yang baik ketika didunia akan membawanya menuju surga. Amal perbuatan manusia yang buruk ketika didunia akan membawanya menuju neraka. Kerja keras dan sungguh-sungguh akan membawa manusia kepada keberhasilan, dan sebaliknya.
Setiap kegagalan yang dialami manusia, bukanlah berarti bahwa Tuhan telah mentakdirkan ia untuk gagal, namun kurang sempurnanya ikhtiar yang ia lakukanlah yang membawanya kepada kegagalan. Karena Tuhan tidak memutuskan takdir manusia berdasarkan kehendak mutlanya, namun Tuhan memutuskan takdir manusia berdasarkan sejauhmana manusia melakukan Ikhtiar untuk Takdir yang diinginkannya.
”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S Ar Rad : 11)