Friday, June 14, 2013

PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM



PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM

Dalam mengembangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia, harus searah dengan cita-cita dan tujuan Proklamasi Kemerdekaan dan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Cita-cita dan tujuan kemerdekaan itu telah tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang pada intinya "merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur ".
Telah jelas pula, landasan pijakan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, yaitu Pancasila. Pancasila telah disepakati dan ditetapkan menjadi dasar dan ideologi negara. Eksistensinya sebagai dasar negara, secara tegas dimuat dalam TAP MPR XVII/MPR/1998, yang status hukumnya termasuk ke dalam TAP yang tidak perlu lagi dilakukan tindakan hukum lebih lanjut.
Implementasi hal tersebut nampak dalam UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 2 disebutkan bahwa "Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara".
Sebagai sumber hukum pasti, Pancasila harus dijadikan sebagai dasar rujukan dalam penyelenggaraan negara. Perilaku penyelenggara negara yang tamak, arogan, mementingkan diri sendiri, adalah sangat jauh dari sifat-sifat sahaja, jujur, rela berkorban untuk kepentingan orang lain/masyarakat, dan selalu berpegang pada aturan yang benar.

A.        Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum
Sejak negara didirikan pada tahun 1945 telah ditetapkan bahwa dasar dan ideologi negara kita adalah Pancasila. Latar belakang dan konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dapat dilihat dari sekurang-kurangnya tiga aspek yakni politik, fislosofis, dan yuridis (hukum dan peraturn perundang-undangan).
Dari sudut hukum, Pancasila menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukun di Indonesia. Oleh sebab itu setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasar pada Pancasila.
Pancasila disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum, tentunya akan menciptakan sebuah asumsi bahwa Pancasila merupakan sumber hukum yang universal yang mampu menjangkau berbagai aspek. Sumber hukum yang paling dasar yaitu Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, lahirnya suatu produk hukum yang tidak mendasarkan hal tersebut tentunya akan menimbulkan berbagai persoalan di dalam penerapanya.
Pancasila dalam pengertian ini disebutkan dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo. Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan ketetapan MPR No. IX/MPR/1978). Dalam hal ini Pancasila berperan sebagai pengatur kehidupan kemasyarakatan dan sebagai pangatur tingkah laku pribadi.
Pada hakekatnya dibentuknya sebuah undang-undang maupun peraturan lainya bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat didalam hubunganya antar anggota masyarakat yang lain, sehingga diharapkan mampu menjamin sebuah kepastian hukum.
Semua dasar-dasar hukum yang ada dan diakui di RI bersumberkan kepada Pancasila. Butiran-butiran Pancasila diletakkan didalam pembukaan UUD 1945, dan kemudian dijabarkan dengan pasal-pasalnya. Dimana Preambule atau Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh dirubah. Kecuali batang tubuhnya. Artinya Bab, Pasal, dan ayat-ayatnya.

B.         Penuangan di Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Pancasila sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum itu harus dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum formal. Pandangan ini penting karena dengan kedudukannya yang seperti itu Pancasila harus dijabarkan di dalam peraturan perundang-undangan dengan semua kaidah penuntunnya. Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 terdiri dari :
-        UUD 1945
-        UU/perpu
-        Peraturan Pemerintah
-        Keputusan Presiden
-        Surat Keputusan Menteri
-        Perda
UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, SK Menteri dan Perda, merupakan peraturan pelaksana. Sebagai peraturan pelaksana sumber hukum ini tidak boleh bertentangan dengan aturan pokok (UUD 1945) yang merupakan penjabaran dari Pancasila.


1.      Penuangan di Dalam UUD 1945
Undang-undang dasar suatu Negara merupakan dasar hukum bagi Negara. Undang-undang dasar merupakan rujukan dari peraturan-peraturan lain di dalam suatu Negara.
Pancasila telah tercantum secara lebih konkrit dalam berbagai pasal-pasal dalam UUD 1945.  Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, tercantum dalam Pasal 29 Ayat (1) yang berbunyi ‘negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa’. Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab tercantum, antara lain, dalam Bab XA tentang hak asasi manusia. 
Ketiga, persatuan Indonesia, ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi ’Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan…’, Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan telah dijamin dalam Pasal 1 Ayat (2), dan Bab VII tentang DPR yang menyerahkan kewenangan pembuatan Undang-Undang kepada DPR yang merupakan badan perwakilan.
Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dijamin dalam Bab XA tentang hak asasi manusia, serta Bab XIV tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 tidak bertentangan dengan Pancasila.
Isi UUD secara keseluruhan dimaksudkan mengatur rambu-rambu pokok empat kaidah penuntun hukum Pancasila yang kemudian dilembagakan dari Pusat sampai ke Daerah-daerah dan harus dijadikan pedoman dalam pembuatan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penuntun petama (semua peraturan perundang-undangan harus menjamin integrasi atau keutuhan ideologi dan teritori negara dan bangsa Indonesia) sesuai dengan tujuan melindungi segenap bangsa dan selutruh tumpah darah Indonesia dapat dilihat dari ketentuan tentang pilihan bentuk negara “kesatuan” yang tidak dapat diubah. Hal ini tercantum dalam Pasal 30 mengatur sistem pertahanan dan keamaman untuk menjamin keutuhan territori dan ideologi.
Penuntun kedua (negara harus diselenggarakan dalam keseimbangan antara prinsip demokrasi dan nomokrasi) dapat dilihat di dalam pasal 1 ayat (2) yang menegaskan prinsip demokrasi (kedaulatan berada di tangan rakyat) dan pasal 1 ayat (3) yang menegaskan prinsip nomokrasi (Indonesia adalah negara hukum).
Penuntun ketiga (negara harus menjamin keadilan sosial) diatuar di dalam pasal-pasal tentang kesejahteraan sosial yang mencakup penguasaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, pemeliharaan fakir miskin oleh negara, sistem perekonomian, dan sebagainya.
Penuntuh keempat (negara harus menjamin tegaknya toleransi beragama yang berkeadaban) diatur di dalam pasal 29 yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk dan melaksanakan agama apa pun yang diyakini oleh setiap warga negara. Tentang ini diatur juga di dalam pasal 28 tentang HAM. Negara tak perlu mewajibakn berlakunya hukum agama, tetapi wajib melindungi dan memfasilitasi setiap warga negara yang ingin melaksanakan agamanya masing-masing.

2.      Penuangan di Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Bawah UUD 1945
Peraturan perundang-undangan (regelings) adalah seperangkat peraturan yang dapat dibuat oleh berbagai lembaga yang berwenang di dalam suatu negara yang harus tersusun secara hirarkis berdasar bobot materi dan tingkat kewenangan lembaga yang membuatnya.
Susunan hirarkis ini dimaksudkan untuk menjamin konsistensi isi peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajat atau hirarkinya dengan kaidah penuntun berdasar Pancasila.
Peraturan perundang-undangan yang tertinggi (UUD) harus bersumber dan berdasar pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UU harus berdasar dan bersumber pada UUD, Peraturan Pemerintah harus berdasar dan bersumber pada UU, dan seterusnya.
Kontrol atau pengawasan atas kemungkinan distorsi isi peraturan perundang-undangan ini diatur dengan instrumen hukum dan politik yang dapat mengawal agar isi peraturan perundang-undangan itu selalu sesuai dengan Pancasila. Instrumen itu berupa keharusan pembuatan peraturan perundang-undangan untuk selalu cermat yang kemudian masih dapat diuji lagi melalui “review” baik melalui judicial review, legislative review, maupun executive review.


DAFTAR BACAAN

Abdullah, Rozali, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa, (Jakarta : Rajawali Pers, 1993)
http://pspn.filsafat.ugm.ac.id/index.php/publikasi/artikel/53-penuangan-pancasila-di-dalam-peraturan-perundang-undangan.html
Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta : Paradigma, 1996)


4 comments:

  1. syukron ilmunya/postingannya admin, sangat bermanfaat

    ReplyDelete
  2. syukron ilmunya/postingannya admin, sangat bermanfaat

    ReplyDelete
  3. Ada perkataan penulis yang agak mengganjal di hati sya, yitu:
    "negara tidak prlu mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara wajib melindungi dn memfasilitasi setiap warga negara yang ingin melaksanakan ajaran agmax masing2."
    lantas bgimana dngan org Islam yg ingin menerapkan hukuman mati bagi orang yg murtad, hukuman rajam bagi pezina muhshan, dn hkman ptong tngan bgi pncuri. Disini negara indonesia tidak memfasilitasi kaum muslimin yg ingin mlaksanakan ajarn2 agmanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentusaja Negara wajib menjamin kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan keyakinannya berdasarkan pasal 29 ayat 2 uud 1945, selama hal tersebut tidak berbenturan dengan peraturan lainnya.
      Dalam hal penerapan syariat islam hukuman mati bagi orang yg murtad misalnya, tentusaja hal tersebut tidak dapat dilaksanakan sebab akan berbenturan dengan kebebasan setiap orang untuk memilih dan memeluk agamanya masing-masing.
      Selain itu Negara juga berkewajiban menekan sekecil mungkin potensi yang dapat menyebabkan terjadinya konflik antar umat beragama. Bayangkan saja jika kita (kaum muslim) mengeksekusi mati seorang yg telah murtad, atau sebaliknya saudarakita seorang muallaf yang dianggap telah murtad dari agama terdahulunya kemudian di bunuh dengan alas an yang sama, kira kira apa nyang akan terjadi??? Tentusaja hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya peperangan antar agama di Indonesia ini...
      Ada Satu hal yang mengganjal ketika berbicara masalah penerapan syariat islam. Selalu saja masalah-masalah seperti hukuman mati bagi orang murtad, hukuman rajam bagi pezina muhshan, dn hukuman potong tangan bagi pencuri yang di utamakan, Padahal ada masalah yang lebih penting untuk diperbincangkan, Misalnya orang yang meninggalkan sholat wajib, meninggalkan puasa ramadhan dan enggan membayar zakat. Pelanggaran terhadap hal tersebut merupakan pelanggaran serius dalam islam. Seharusnya masalah inilah yang perlu diperhatikan terlebih dahulu….

      Delete

Berikan Komentar Anda Di Sini