Sunday, December 16, 2012

Resiko Orang Cantik


Resiko Orang Cantik
Blackout

Ku tau kau punya temanku
Tapi ku tak bisa bohongi diriku
Ku tak ingin hilang rasa ini
Kau pantas jadi pacarku...

Andai saja kau (dirimu) mengerti
Isi hatiku padamu...
Sejak dulu sampai saat ini
Hanya kau dihatiku...

Kau memang cantik...
Resiko orang cantik disukai banyak lelaki...
Bukan salahku...
Sebelum janur melengkung
Kumasih bebas untuk memilih...


Monday, December 10, 2012

Dalil-Dalil Syar’i (Adillah Syar'iyyah)


ADILLAH  SYAR’IYYAH

I.           Pendahuluan
Fiqih Islam merupakan kumpulan hukum-hukum yang digali oleh para mujtahid dari dalil-dalil syara yang rinci. Dalil pokok yang merupakan sumber fiqih tersebut adalah wahyu Allah. Pengertian wahyu sebagai satu-satunya sumber hukum, ialah sesungguhnya dialah yang berhak menetapkan adanya sumber lain yang dapat dijadikan sebagai rujukan bagi penetapan hukum.
Dalil-dalil/ sumber hukum fiqih itulah yang menjadi bahasan dalam ushul fiqh. Ushul fiqh tidak dapat terlepas dari dua tema dasar yaitu adillah syar´iyyah dan ahkam yang artinya ialah hukum-hukum atau nilai-nilai yang mengatur perilaku mukallaf.
Dengan demikian maka pokok bahasan dalam ushul fiqh adalah adillah syar’iyyah yang merupakan sumber bagi penetapan hukum.
Adillah (mufrad : dalil) berbeda dengan amaroh. Dalil dipakai untuk petunjuk atau indikasi yang membawa kepada ketentuan definitif (meyakinkan) sebaliknya amaroh digunakan unrtuk yang spekulatif.
Untuk selamjutnya penulis akan menguraikan tentang adillah syar’iyyah yaitu mengenai definisinya, perbedaan dalil dengan amarot, serta macam macam dalil dengan ditinjau dari berbagai aspek.

II.        Definisi
Dalil menurut bahasa arab adalah petunjuk terhadap sesuatu yang bersifat materi maupun non materi, yang baik maupun yang jelek. Sedang menurut ahli ushul fiqh dalil adalah sesuatu yang dapat dijadikan bukti dengan sudut pandang yang benar menurut hukum syara’ mengenai perbuatan manusia secara pasti atau dugaan.
Al-Amidi mendefinisikan sebagai ilmu tentang dalil-dalil fiqih (adilah Al-Fiqh) dan tentang indikasi-indikasi yang diberikannya dalam kaitan dengan hukum-hukum syariah.
Secara harfiah dalil bermakna  bukti, indikasi atau petunjuk. Secara teknisi ia merupakan indikasi yang terdapat didalam didalam sumber-sumber dimana ketentuan syariat yang besifat praktis, atau hukum, di deduksi.
Sebagian ahli ushul memberikan definisi bahwa dalil adalah sesuatu yang menyebabkan timbulnya hukum syara’ mengenai perbuatan manusia secara pasti. Sedang sesuatu yang menyebabkan hukum syara’ secaa dugaan (tidak pasti) disebut tanda-tanda bukan bukti.
Tetapi yang masyhur menurut para ahli ilmu ushul, dalil adalh sesuatu yang menyebabkan timbulnya hukum syara’ atas perbuatan manusia secara mutlak, baik secara pasti maupun dugaan. Oleh krena itu mereka membagi dalil menjadi dua : dalil ang mimilki petunjuk pasti dan dalil yang memilki petunjuk dugaan.

III.     Dalil-Dalil Syar’i
Adillah syar’iyyah dan ahkam, yakni hukum-hukum dan nilai-nilai yang mengatur prilaku mukallaf, adalah dua tema dasar ushuk fiqh. Namun demikian, dari keduanya yang pertamalah yang lebih penting, karena menurut beberapa ulama, ahkam bersumber dari adllah, dank arena itu, merupakan cabang darinya.
Secara harfiayah dalil bermakna bukti, indikasi atau petunjuk. Secara teknisi ia merupakan indikasi yang terdapat didalam didalam sumber-sumberdimana ketentuan syariat yang besifat praktis, atau hukum, di deduksi. Hkum bisa berlaku secara definitive (qoth”i) atau bisa juga secara spekulatif (dzonni) tergantunng dari sifat pokok maslahnya, kejelasan nash dan nilai-nilai yang ingin dibangunnya.
Dalam terminology ushul fiqh, adillah syar’iyyah menunjuk kepada empat dalil pokok, atau sumber-sumber syariah, ayitu qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Dalil dalam sinonim ini sama dengan asl, karena itu keempat sumber syariah tersebut dikenal sebagai adillah sekalius ushul. Ada sejumlah ayat dalam Al-Qur'an yang menetapkan sumber-sumber syariah dan urutan prioritas sumber-sumber hukum tersebut. Diantaranya adalah surah An-Nisa : 59 sebagai berikut :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rosulnya, dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada allah (Al-Qur'an) dan rosulnya (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Mentaati allah dalam ayat ini menunjuk kepada al-qur’an, dan mentaati rasul menunjuk kepada hadits. Ketaatan kepada ulul amri menjadi rujukan bagi ijma, dan bagian terakhir dari ayat yang mengharuskan dikembalikannya segala perselisihan kepada allah dan rosulnya menunjukkan keabsahan qiyas ketika tidak terdapat nash al-qur’an dan hadits ataupun ijma’.
Qiyas pada dasarnya adalah perluasan makna dari perintah-perintah al-qur’an  dan sunnah. Disamping itu, qiyas pada dasarnya memuat temuan-temuan hukum yang telah ditunjukkan dalam sumber-sumber wahyu. Qiyas ialah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang telah ada nasnya dengan kejadian yang tidak ada nasnya, karena ada kesamaan illat.

IV.      Perbedaan Dalil Dengan Amarot
Beberapa fuqoha menarik perbedaan antara dalil dengan amarot, dan menerapkan dalil untuk jenis petunjuk yang membawa kepada ketentuan definitive atau yang membawa kepada pengetahuan yang meyakinkan (‘ilm). Sebaliknya, amarot dipakai untuk petunjuk yang membawa kepada ketentuan sepekulatif.
Menurut pengertian ini, istilah dalil hanya diterapkan kepada dalil-dalil yang bersifat definitive, yaitu : Qur’an, hadits, dan ijma’. Sedangkan dalil-dalil yang bersifat sepekulatif semisal qiyas, istihsan, istishab, dan lain sebagainya termasuk kedalam kategori amarot.

V.         Macam-Macam Dalil
Dalam hal ini macam-macam dalil dapat ditinjau dari beberapa segi, diantaranya :
A.     Ditinjau dari segi asalnya
1.      Dalil naqli
Dalil naqli adalah dalil-dalil yang berasal dari sumber nash langsung yaitu Al-qur’an dan Sunnah Rosul, atau hukum-hukum yang diwahyukan kepada para Rosul Allah sebelum datangnya islam (Shar’u Man Qoblana). Dalil-dalil naqli ini juga dapat dibenarkan secara rasional dan sesuai dengan perkembangan zaman.

2.      Dalil aqli
Dalil aqli adalah dalil yang bukan berasal dari nash langsung, tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu ijtihad. Dalil aqli bukanlah dalil yang sama sekali terlepas dan tidak bersumber dari Al-qur’an ataupun Hadits. Namun merupakan penjabaran dari Al-qur’an dan Hadits. Setidak-tidaknya, perinsip–perinsip umumnya terdapat dalam Al-qur’an dan Hadits. Qiyas misalnya, merupakan dalil aqli, tetapi jiga memiliki kaitan erat dengan dalil-dalil naqli, agar menjadi valid, qiyas harus dibangun atas dasar hukum Al-qur’an dan Hadits.

B.     Ditinjau dari ruang lingkupnya
1.      Dalil kulli
Dalil kulli yaitu dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukallaf ( mencakup banyak satuan hukum ). Dalil kulli ada kalanya berupa Al-Qur'an ada kalanya berupa hadits dan ada kalanya berupa kaidah-kaidah fiqhiyyah kulliyah.
Contoh dalam Al-Qur'an :
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ  )….ﺍﻻﻋﺮﺍﻒ : ٥٦(
Artinya :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi…” (Al-A’rof : 56)
Dalil diatas disebut sebagai dalil kulli karena mencakup berbagai macam kerusakan yang dilarang oleh Allah SWT.
Contoh dalam hadits Nabi SAW :
ﺍﻧﻣﺎ ﺍﻻﻋﻣﻞ ﺑﺎﻠﻧﻴﺎﺖ ﻮﺍﻧﻣﺎ ﻠﻛﻞ ﺍﻣﺮﺉ  ﻣﺎ ﻧﻮﻯ

Artinya :
“Segala amal perbuatan itu semata-mata menurut niatnya, dan bagi setiap manusia semata-mata sesuai dengan niatnya.” (H.R. Jama’ah dari Umar).

2.      Dalil juz’i atau tafsili
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.
Contohnya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ) ﺍﻠﺑﻗﺮﺓ : ١٨٣(
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz’I, karena hanya menunjukkan kepada perintah puasa saja.

C.     Ditinjau dari segi daya kekuatannya
1.      Dalil qoth’i
Dalil qoth’I ini terdiri dari dua macam, yaitu ;
a.       Qoth’i al-wurud
Yaitu dalil yang meyakinkan bahwa sumber datangnya berasal dari Allah SWT (Al-Qur'an) atau dari Rosulnya (Hadits Mutawattir).
b.      Qoth’i dalalah
Yaitu dalil yang kata-katanya menunjukkan suatu arti dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas serta mudah di fahami sehingga tidak mungkin ditakwilkan dan dipahamkan lain.
Seperti :
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ.. )ﺍﻠﻧﺴﺎﺀ : ١٢(

Artinya ;
“Dan bagimu (Suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh Istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak,…” (An-Nisa : 12)
Ayat diatas tidak mungkin diartikan lain, kecuali menunjukkan bahwa bagi para suami yang ditinggal mati oleh istrinya adalah setengah dari harta peninggalannya apabila sang istri tidak mempunyai anak.

2.      Dalil dhonni
Dalil dhonni juga terdapat dua macam, yaitu :
a.       Dhonni al-wurud
Yaitu dalil yang hanya memberi kesan yang kuat ( sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari nabi, akan tetapi tidak dapat dibuktikan. Tidak ada satu[pun ayat dari Al-Qur'an yang dhonni wurudnya, adapun hadits nabi yang dhonni wurudnya yaitu hadits ahad.
b.      Dhonni dalalah
Yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapannya memberi kemungkinan-kemungkinan arti dan maksud serta dapat ditakwilkan keluar dari arti yang sesungguhnya kepada maksud yang lain.tidak menunjukkan kepada suatuarti dan maksud tertentu.
Seperti ayat :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ …… )ﺍﻠﺑﻗﺮﺓ : ٢٢٨(
Artinya :
“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…”(Al-Baqoroh :228)
Kat “Quru’” dalam ayat diatas dapat diartikan sebagai haid dan dapat pula diartikan dengan suci. Oleh karena itu, para ulama sering berbeda pendapat dalam hukum yang diambil dari dalil yang dhonni dalalahnya.

VI.      Kesimpulan
Dari uraian yang dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa adliiah syar’iyyah merupakan sumber rujukan bagi penetapan hukum. dalil merupakan bukti, indikasi atau petunjuk yang terdapat didalam didalam sumber-sumber dimana ketentuan syariat atau hukum, di simpulkan. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.
Dalil berbeda dengan amaroh. Dalil dipakai untuk petunjuk atau indikasi yang membawa kepada ketentuan definitif (meyakinkan) sebaliknya amaroh digunakan unrtuk yang spekulatif.
Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua : Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan  Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.

DAFTAR BACAAN

Djazuli, Ahmad, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana Perdana Media Grup, 2006)
Djazuli, Ahmad, Nurol Aen, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2000)
Kalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003)
Kalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 1996)
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1992)