UANG PADA MASA RASULULLAH SAW SAMPAI MASA KEKHALIFAHAN ISLAM
Bangsa Arab di Hejaz pada masa Jahiliyah
tidak memiliki mata uang sendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka
peroleh berupa Dinar emas Hercules, Byzantium dan Dirham perak Dinasti Sasanid
dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Penduduk Mekah tidak
memperjual belikannya kecuali sebagai
emas yang tidak ditempa dan tidak menerimanya kecuali dalam ukuran timbangan.
Rasulullah kemudian menetapkan apa yang sudah menjadi tradisi penduduk Mekah, dan beliau memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Mekah. Munculnya perintah itu karena adanya tiga bentuk cetakan uang dengan ukuran Dirham Persia yang berbeda, yaitu 20 karat, 12 karat, dan 10 karat. Kemudian ditetapkan Dirham Islam sebesar 14 karat dengan mengambil 1/3 dari semua Dirham Persia yang ada (20+12+10 = 42/3 = 14). Selain barter, mata uang telah dipergunakan dalam aktifitas ekonomi pada zaman Rasulullah Saw. Dinar dan Dirham yang terbuat dari emas dan perak digunakan sebagai alat transaksi sehari-hari. Sejumlah hadis Rasulullah berikut ini menunjukkan akan hal tersebut.
Rasulullah kemudian menetapkan apa yang sudah menjadi tradisi penduduk Mekah, dan beliau memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Mekah. Munculnya perintah itu karena adanya tiga bentuk cetakan uang dengan ukuran Dirham Persia yang berbeda, yaitu 20 karat, 12 karat, dan 10 karat. Kemudian ditetapkan Dirham Islam sebesar 14 karat dengan mengambil 1/3 dari semua Dirham Persia yang ada (20+12+10 = 42/3 = 14). Selain barter, mata uang telah dipergunakan dalam aktifitas ekonomi pada zaman Rasulullah Saw. Dinar dan Dirham yang terbuat dari emas dan perak digunakan sebagai alat transaksi sehari-hari. Sejumlah hadis Rasulullah berikut ini menunjukkan akan hal tersebut.
Diriwayatkan Rasulullah Saw. Beliau bersabda :
“Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sama rata, tangan ke tangan (kontan).[1]
Abu Sa’id al-Khudri dan abu Hurairah r.a.
meriwayatkan :
Sesungguhnya Rasulullah Saw. Telah
menugaskan kepada seorang laki-laki untuk wilayah Khaibar. Kemudian orang
tersebut datang kepada mereka membawa kurma berkualitas bagus. Lalu Rasulullah
Saw. bertanya ,“Apakah semua kurma di Khaibar seperti ini? Maka orang tersebut
menjawab,”Kami menukar satu takar kurma ini (yang berkualitas baik) dengan dua
takar kurma kualitas rendah, dan dua takar kurma ini dengan tiga takar kurma
tersebut” maka Nabi berkata,”Jangan kamu berbuat demikian, akan tetapi tukarkan
jumlah kurma yang kualitasnya rendah dengan dirham, kemudian gunakan dirham
tersebut untuk membeli kurma yang kualitasnya baik” dan begitu pula perintah
Rasul untuk barang yang ditimbang.[2]
Pada zaman khalifah Abu Bakar tidak
terjadi perubahan terhadap uang yang beredar. Pada zaman pemerintahan Khalifah
Umar r.a. pernah timbul pemikiran mencetak uang dari kulit binatang, namun
rencana tersebut akhirnya batal setelah tidak disetujui para sahabat yang lain,
karena akan mudah ditiru dan jumlah bahannya mudah didapat. Di zaman Khalifah Umar r.a. mata uang dicetak
mengikuti gaya Dirham Persia dengan penambahan tulisan, seperti kalimat
bismillah, bismillah Rabbi, alhamdulillah, dan Muhammad Rasulullah. Khalifah
Usman r.a. mata uang dicetak mengikuti model uang zaman Khalifah Umar r.a.
dengan tambahan tulisan kota tempat pencetakan dan tanggalnya dengan huruf
bahlawiyah, dengan salah satu kalimat bismillah, barakah, bismillah Rabbi,
Allah, dan Muhammad deng jenis huruf Kufi. Mata uang yang dicetak pada masa
pemerintahan Khalifah Ali r.a., mengikuti model zaman Khalifah Usman r.a.
dengan menuliskan di lingkarannya salah satu kalimat bismillah, bismillah
Rabbi, dan Rabiyallah dengan jenis huruf Kufi. Mata uang zaman Khalifah Ali
r.a. ini hingga kini masih dapat dilihat di museum Paris, Perancis.
Pada zaman Muawiyah mata uang kembali
dicetak dengan model Persia dengan bentuk tidak bulat serta mencantumkan gambar
pedang. Pencetakan mata uang Dirham zaman Muawiyah dengan mencantumkan nama
khalifah dilakukan saat pemerintahan gubernur Irak, Ziad. Saat pemerintahan
Muawiyah dipegang Ibnu Zubair baru dicetak mata uang dalam bentuk bulat dengan
peredaran hanya terbatas pada wilayah Hejaz. Pemerintahan gubernur Khufah,
Mus’ab, mencetak uang dengan model Persia dan Romawi. Pada zaman pemerintahan
Abdul Malik (76 H) didirikan percetakan uang yang diorganisasi dan dikontrol
oleh pemerintah di Suq Ahwas, Sus, Jay, Manadar, Maysan, Ray, serta Abarqubadh.
Nilai mata uang ditentukan berdasarkan beratnya.
Mata uang Dinar yang mengandung emas 22
karat, terdiri dari pecahan setengah Dinar dan sepertiga Dinar. Pecahan lebih
kecil didapat dengan cara memotong mata uang tersebut. Sementara mata uang
Dirham terdiri dari pecahan 20 Dirham (nash), 5 Dirham (nawai), dan 1/60 Dirham
(sha’ira). Nilai tukar Dinar-Dirham 1 : 10 relatif stabil dalam kurun waktu
yang panjang. Satu Dinar emas 20 karat setara dengan 10 Dinar emas 14 karat.
Reformasi moneter dilakukan saat pemerintahan Abdul Malik, sehingga 1 Dinar
4,25 gram, 1 Dirham 3,98 gram, 1 Uqiyya 40 Dirham, 1 Mitsqal 22 karat, 1 Ritl
(liter) 12 Uqiyya setara 90 Mitsqal, 1 Qafiz 6 sa’ setara seperempat Artaba, 1
Wasq 60 sa’, dan 1 Jarib 4 qafiz. Sementara kurs Dinar dan Dirham stabil pada 1
: 15.[3]
Pada zaman pemerintahan Abasiyah
pencetakan Dinar masih melanjutkan cara Dinasti Muawiyah, tidak terjadi
perubahan kecuali ukiran-ukirannya saja. Terdapat dua fase pada Dinasti
Abasiyah, pertama, terjadi pengurangan terhadap ukuran dirham kemudian dinar.
Kedua, ketika pemerintahan melemah dan para pembantu dari orang-orang Turki
ikut serta mencampuri urusa negara. Ketika itu pembiayaan semakin besar,
orang-orang dalam kondisi kemewahan sehingga uang tidak lagi mencukupi
kebutuhan. Negara pun membutuhkan bahan baku tambahan, terjadilah kecuranga
dalam pembuatan dirham dan mencampurkannya dengan tembaga untuk memperoleh
keuntungan dari selisih antara nilai nominal dan nilai intrinsiknya.[4]
[1]
Muslim, Shahih Muslim no. 1593,
Malik, Al-Muwattha no. 210,
Al-Nasa’I, Sunan Al-Nasa’i no. 4553
dalam A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah
Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 176.
[2]
Muslim, Al-Musaqat no. 81 (1587), Al-Turmudzi, Al-Buyu’, no.1240, Abu Daud,
Al-Buyu’ no 3349 dan 3350 dalam A. Hasan, Mata
Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo
Persada, 2005, hal. 177.
[3] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT, 2002, hal. 9.
[4] A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja
Grafindo Persada, 2005, hal. 36-37.
No comments:
Post a Comment
Berikan Komentar Anda Di Sini