UANG DALAM PANDANGAN IBNU TAIMIYAH
Riwayat Hidup
Ibnu Taimiyah/ Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim (661-728 H/1263-1328 M) lahir di kota
Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M/ 661 H,
dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama besar mazhab Hambali. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik
ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam
tafsir, hadis, fiqih, matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun.
Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin
perang yang handal.
Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.
Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.
Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau
menyatakan bahwa fungsi utama uang
adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar
pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapakan sebagai berikut :
Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai
harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar
al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat
diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.[1]
Pada kalimat terakhir
pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka
sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa
beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan.
Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat
diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang
sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan
mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan
diperlakukan sebagai komoditas, (1) uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan
kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk
membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai
kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh
karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam, (2) komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda,
sementara uang tidak.[2] Contohnya uang
dengan nominal Rp. 100.000,- yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas
yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun
model dan tahun pembuatannya sama, dan (3) komoditas akan menyertai secara
fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor
tertentu yang dijual di showroom.
Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil
tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya
seperti apa. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan
bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi
mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan
dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan
dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan
(taqabud), dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling
mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak
lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat
menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang
tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan
kesempatan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan
mengapa Rasulullah Saw. melarang jenis transaksi seperti ini.
Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman
pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam
Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan
masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil
Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut
dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus
digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak
kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq
untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi
kandungan tembaganya (intrinsic value).
Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi
turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut,
Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata
uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas
transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.[3]
Dari yang beliau nyatakan
tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah
uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan
tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa
seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas
transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil.
Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat
di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung
dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah
logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena
sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai
uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak
ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut.
Melalui teori kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan
melalui persamaan:
MV = PT.
Dimana M
(Money) adalah jumlah uang beredar, V
(Velocity) adalahkecepatan uang
beredar, P (Price) adalah tingkat
harga produk dan T (Trade) adalah
nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah setiap kali butuh uang
melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka
jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T
tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan sama dengan
sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M
akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang
berarti terjadi inflasi yang meningkat.
Implikasi Penerapan Lebih dari Satu
Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan
yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai Fulus ditentukan
berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan
Fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan
mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu
memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan Fulus secara luas pada
masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham semakin sedikit dalam
kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi
semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk.
Dampak pemberlakuan Fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan
sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan
kelaparan ini diungkapkan Al-Maqrizi dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi
Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah, semoga Allah memberi taufiq
kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi ilham kepadamu nasehat
makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat, rusaknya perkara adalah
karena perncanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau mereka
yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq lalu
mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas saja
dan mengembalikan harga-harga barang dan
nilai pembayaran kepada dinar atau kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni
transaksi menggunakan perak yang dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah
pertolongan kepada umat, perbaikan persoalan-persoalan, dan kesadaran terhadap
kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih jelas dari itu bahwa
mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula, dan orang yang
mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau pegawai
pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk emas atau
perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan public.
Pada saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan
perak, tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali,
karena semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada
beberapa sebab yang menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara
pandang orang yang ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam
mengatur persoalan. Ini penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang
menimpa sesuatu sehingga persediaan menjadi sedikit seperti yang terjadi pada
daging sapi yang tertimpa kematian missal pada tahun 808, dan yang terjadi pada
gula karena kurangnya tebu dan perasannya pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya
penyebab kecil dibandingkan sebab pertama.[4]
Selanjutnya, Dirham juga
mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu
Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi
terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu
Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M) pemerintah menetapkan keputusan bahwa Fulus
yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah
mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan
uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan
:
Apabila penguasa membatalkan penggunaan
mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal
ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai
mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan
kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.[5]
Beliau menyarankan agar penguasa
tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan
masyarakat. Ketika pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi atas mata yang
dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang
tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai
uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat
secara langsung akan terpangkas drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya
dengan adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata
uang dengan nilai nominal yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan
kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda
berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai
mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau
menganggap bahwa perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap
masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam masalah ini Ibnu
Taimiyah mengungkapkan :
Lebih daripada itu, apabila nilai
intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber
keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan
menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan membawanya ke
daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali
ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi
hancur.[6]
Ibnu Taimiyah menyarankan
kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli
tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari
hasil mencetak uang (seignorage).
Saran beliau cukup beralasan, karena setiap pemerintah butuh uang kemudian
dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih
kecil daripada nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi
yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar berlebihan,
sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat
akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin. Sungguh
memprihatinkan, dan tidak ada artinya ketika pendapatan penguasa/pemerintah
meningkat hasil menikmati keuntungan (selisih antara nilai nominal dan nilai
intrinsik mata uang Fulus), namun di sisi lain pendapatan riil masyarakat
secara umum semakin berkurang. Penguasa juga harus mencetak uang sesuai dengan
nilai riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apapun agar
kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir pernyataan
beliau di atas, dinyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan
uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang
lebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang
berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung
2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3
tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk
menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan
mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan.
Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat
transaksi. Akibatnya, peredaran Dinar
sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang.
Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat
meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem
moneter pada waktu itu tidak stabil. Ungkapan Al-Maqrizi berikut ini akan
memperjelas kondisi tersebut :
Ketika pada masa Mahmud bin
Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah
merahmatinya—memperbanyak uang tembaga. Pencetakan uang tembaga terus berlanjut
beberapa tahun sedangkan orang asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke
negeri mereka, dan penduduk negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga
berkurang dan bahkan hamper punah (habis) dan uang tembaga beredar secara luas
sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.[7]
Dia (Al-Dzahir Barquq)
membangun gedung percetakan uang tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga
semakin banyak di tangan orang-orang dan beredar luas karena itu menjadi mata
uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang karena dua sebab: pertama,
sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk
dijadikan perhiasan.[8]
Fenomena yang diamati,
dianalisis yang kemudian dinyatakan secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas
dan disempurnakan oleh Al-Maqrizi, ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan
situasi dan kondisi sedikit berbeda fenomena sejenis terjadi di Amerika
(1782-1834). Pada waktu itu Amerika mempertahankan kurs mata uang emas dan
perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara Eropa
menguat berkisar pada kurs 1 : 15,5 hingga 1 : 16,6. Akibatnya, mata uang emas
Amerika mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak membanjiri Amerika.
Fenomena itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857M) dan dia nyatakan
dengan bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang
berkualitas baik”. Pernyataan itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran
Ibnu Taimiyah dan Al-Maqrizi mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut
hingga kini masih dapat dibaca. Namun pernyataan itulah yang kelak di kemudian
hari dikenal sebagai Hukum Gresham yang sangat terkenal dan sering dikutip
hampir semua buku teks ekonomi konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa
Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau menyarankan
agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara (baitul mal). Saran beliau tersebut
setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji yang diambilkan
dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang,
sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti
menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat
menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya.
DAFTAR BACAAN
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam , Matabi’al-Riyadh, 1963, Vol.29
A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja
Grafindo Persada, 2005
Sufyan Ismail, Why Islam has
Prohibited Interest and Islamic Alternative for Financing, www.1stethical.com
Al-Maqrizi, Ightsatul Ummah bi
Kayfi Al-Ghummah, hal 82-83 dalam A.
Hasan, Mata Uang Islami, Telaah
Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005
Al-Maqrizi, Syudzur Al-Uqud fi Dzikr Al-Nuqud, hal. 91 dalam A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif
Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005
Al-Maqrizi, Ightsatul Ummah bi
Kayfi Al-Ghummah, hal 71 dalam A.
Hasan, Mata Uang Islami, Telaah
Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005
[1]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaikh
al-Islam , Matabi’al-Riyadh, 1963, Vol.29,hal.472, A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem
Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005.
[2]
Sufyan Ismail, Why Islam has Prohibited
Interest and Islamic Alternative for Financing, www.1stethical.com
[3] Ibid.,
hal.469.
[4]
Al-Maqrizi, Ightsatul Ummah bi Kayfi
Al-Ghummah, hal 82-83 dalam A.
Hasan, Mata Uang Islami, Telaah
Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005, hal 40.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7]
Al-Maqrizi, Syudzur Al-Uqud fi Dzikr Al-Nuqud, hal. 91 dalam A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif
Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005, hal 41.
[8]
Al-Maqrizi, Ightsatul Ummah bi Kayfi
Al-Ghummah, hal 71 dalam A.
Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif
Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005, hal 41.
No comments:
Post a Comment
Berikan Komentar Anda Di Sini