Thursday, November 1, 2012

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN ILMU KALAM

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN ILMU KALAM

Ilmu kalam sebagai ilmu yang membahas permasalahan ketuhanan dengan berpegang kepada dalil-dalil naqli serta menggunakan akal/rasio sebagai media penafsirannya. Wahyu sebagai kabar dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan akal sebagai media yang ada pada diri manusia berusaha keras untuk dapat mencapai Tuhan.
Terdapat beberapa aliran di dalam ilmu kalam yang mana pola pemikiran antar aliran ini cenderung kontradiktif. Masalah utama yang timbul dari perbedaan aliran-alian teologi tersebut adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tetap beriman.
Dalam makalah ini akan diuraikan perbandingan pemikiran antar beberapa aliran ilmu kalam tentang permasalahan; Kedudukan Akal dan Wahyu dalam pandangan aliran-aliran ilmu kalam, kedudukan Pelaku Dosa-Dosa Besar (kafir atau tidak), dan sifat Al-Qur’an (apakah qodim atau hadits/baharu) menurut aliran-aliran ilmu kalam.
Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.

      A.     Wahyu dan Akal
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. dan dapat pula mengetahui mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah wajib. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan, Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Golongan Al-Murdar bahkan terlihat lebih ekstrim. Menurut pandangan mereka, dalam kewajiban mengetahui Tuhan, termasuk pula kewajiban-kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan berdasarkan kemampuan akal manusia, walaupun tanpa adanya wahyu. Dan orang yang tidak mengetahui hal tersebut berarti tidak berterima kasih kepada tuhan, dan akam mendapat hukuman kekal dalam neraka.
Kaum Asy’ariyah menolak sebagian besar dari pendapat kaum mu’tazilah diatas. Mereka berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Wahyulah yang mewajibkan manusia untuk mengetahui tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pula manusia dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah wajib. Menurut mereka akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia, Akal hanya dapat memperoleh pengetahuan. untuk itulah wahyu diperlukan.
Menurut aliran Maturidiyah Samarkand, seperti halnya dengan golongan Mu’tazilah, akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui tuhan, dan berterima kasih kepada Tuhan. Seperti yang diterangkan oleh Al-Bazbawi dan Abu ‘Uzbah. Namun dalam hal baik dan buruk mereka tidak sefaham dengan Mu’tazilah. Akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, akal hanya dapat mengetahui hal yang baik dan yang buruk, karena yang menentukan kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk hanyalah Tuhan. karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.
Golongan Maturidiyah Bukhara tidak berpendapat demikian, menurut mereka akal hanya dapat mengetahui Tuhan serta mengetahui yang baik dan yang buruk, namun akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan serta kewajiban melakukan yang baik dan meningggalkan yang buruk. Bagi sekte ini yang menentukan kewajiban-kewajiban bagi manusia hanyalah Tuhan.

      B.     Pelaku Dosa-Dosa Besar
  1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir. Hal ini didasarkan kepada firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44:
Artinya:
“…Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar, menurut semua sub sekte khwarij adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, Azariqah memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak sefaham dengan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Sub sekte Najdah menganggap kafir bagi seseorang yang melakukan dosa kecil secara berkesinambungan, seperti halnya dengan pelaku dosa besar. Namun mereka tidak memandang kafir bagi pengikutnya. Mereka berpendapat jika pengikutnya melakukan dosa besar mereka akan tetap mendapatkan siksa dalam neraka namun pada akhirnya mereka akan masuk surga juga.
Sub sekte As-Sufriah membagi dosa besar menjadi dua macam. Yaitu dosa besar yang terdapat sanksi didunia (seperti membunuh, berzina, dll) dan dosa besar yang tidak ada sanksinya didunia (seperti meninggalkan sholat dan puasa). Mereka tidak memandang kafir bagi pelaku dosa besar golongan pertama. Sedangkan pelaku dosa besar golongan kedua dipandang kafir

  1. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte aliran murji’ah berbeda pendapat tentang definisi tersebut, sehingga pandangan mereka mengenai status pelaku dosa besar juga berbeda-beda.
Secara garis besar sub sekte Murji’ah dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan.
Diantara sub sekte yang ekstrim ini adalah al-jamiyah, as-salihiyah, dan al-yunusiah. Menurut kelompok ini perbuatan maksiat yang dilakukan  seseorang tidak dapat menggugurkan keimanannya, sehingga mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak akan disikas dineraka selama mereka tetap dalam keadaan beriman kepada Allah.
Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, mereka tidak kekal didalamnya, tergantung kepada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraka.
Salah satu sub sekte Murji’ah moderat ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, akan tetapi perbuatan dosa yang dilakukannya tetap mempunyai implikasi. Jika mereka masuk neraka, dank arena kehendak allah, mereka tidak akan kekal di dalamnya.

  1. Menurut aliran Mu’tazilah
Bila aliran Khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan al-manzilah bainal-manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Dalam menentukan kriteria dosa besar, aliran mu’tazilah menggunakan ancaman yang terdapat dalam nash. Dosa besar menurut mereka adalah segala pelanggaran yang ancamannya disebutkan secara jelas dalam nash. Sedangkan segala pelanggaran yang tidak disebutkan dengan tegas hukumannya di dalam nash di golongkan kepada dosa kecil.

  1. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkannya. walaupun melakukan dosa besar, Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, mereka akan mendapat siksaan di dalam neraka sesuai dengas ukuran dosa yang mereka lakukan. Namun mereka tidak akan kekal di dalam neraka, setelah siksaan yang mereka alami dineraka menghapus semua dosa-dosa mereka, mereka selanjutnya akan dimasukkan kedalam surga. Namun jika Allah SWT menghendaki dan mereka mendapat syafaat dari Nabi SAW maka bisa saja Allah mengampuni dosa-dosanya sehingga terbebas dari siksa neraka.
Golongan Asy’ariyah dalam memposisikan pelaku dosa besar cenderung sama dengan golongan Murji’ah, yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.  khususnya golongan Murji’ah moderat.

  1. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai seorang mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, sama halnya dengan golongan asy’ariyah keputusan mutlak berada di tangan allah. Apakah pelaku dosa besar tersebut diampuni sehingga tidak mendapat siksaan di neraka ataupun allah akan memasukkan keneraka dan menyiksanya berdasarkan perduatan dosa yang dilakukannya.
Sebagai mana yang di ungkapkan oleh al-maturidi sendiri selaku pendiri aliran ini pelaku dosa besar tidak akan kekal didalam neraka. Hal ini didasarkan atas janji allah yang akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya didunia. Mereka yang kekal di dalam neraka hanyalah mereka yang mensekutukan allah (syirik). Perbuatan dosa besar tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad.

  1. Aliran Syi’ah Zaidiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah.

      C.     Al-Qur’an (Qodim atau Mahluk)
Diskusi tentang Kalam Allah muncul tatkala terlontar pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah. Pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Ja’d ibn Dirham, semasa Khlaifah Umayyah Hisham (724-743 M) . Hisyam kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi Ja’d ibn Dirham.
Namun demikian, pembicaraan tentang kemakhlukan Kalam Allah ini baru populer dan menjadi diskusi Ilmu Kalam secara lebih serius pada masa Khalifah Al-Ma’mun, setelah cukup lama Mu’tazilah lahir, baru dilontarkan kembali pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah (khususnya Al-Qur’an) ini oleh Ibn Abi Duwad masa Khalifah Al-Ma’mun (sekitar 827 M), yang menjadikan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.
Aliran yang populer dalam tradisi Islam yang beranggapan bahwa Kalam Allah sebagai Makhluk adalah aliran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazili pada umumnya memahami hakikat kalam atau perkataan, sebagai: huruf yang tersusun dan suara yang terputus-putus yang diucapkan dengan lisan.
Al-Nadzdzam dan para pengikutnya berpendapat bahwa kalam manusia merupakan ‘ard dan harakat (gerakan, movement, berubah) karena bagi mereka tidak ada ‘ard kecuali al-harakat. Dan Kalam Allah merupakan jism. Dengan demikian Kalam Allah adalah makhluk sebab jism dan ard merupakan makhluk yang diciptakan Allah.
Argumen-argumen tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini diantaranya berpijak ayat Al-Qur’an, antara lain :
Artinya :
“Susungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya “Jadilah” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin, 36: 82)
Ayat ini, dalam pandangan Mu’tazili, kata “kun” adalah baharu (muhadats), karena merupakan sesuatu yang tersusun dari dua huruf yang dapat dipindah-pindahkankan, yang satu mendahului yang lain (memiliki struktur). Selain itu, dalam ayat di atas terdapat lafadz “an”, menurt Mu’tazilah, lafadz tersebut merupakan fi’il mudhari, menunjuk pada masa mendatang. Dengan demikian, lafadz “an” tersebut menunjukkan pada baharunya “kun”. Demikian juga dengan huruf “fa” dalam kata “fayakun” sebagai li al-ta’qid (penegasan), sehingga membawa pengertian bahwa ciptaan di dahului oleh zaman. Maka, berdasarkan pengertian dan argumen-argumen tersebut di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an, sebagai Kalam Allah adalah baharu, makhluk.
Pemikiran Mu’tazilah tentang kemakhlukkan Al-Qur’an atau Kalam Allah mendapat reaksi keras dari kelompok yang berpegang teguh pada atsar (hadits nabi), yang lebih mengutamakan riwayah dari pada dirayah, yang kemudian mereka menamakan dirinya dengan Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Salah seorang tokoh salaf yang secara gencar dan konsisten dalam melakukan reaksi terhadap pemikiran Mu’tazilah adalah Ahmad bin Hanbal. Pernah terjadi dialog antara Ahmad bin Hanbal dengan Ishaq Ibn Ibrahim penganut madzahm Mu’tazilah yang juga adalah seorang Gubernur Iraq. Pada inti dari dialog tersebut Ibn Hanbal secara tegas menolak pemikiran kaum Mu’tazilah yang menganggap Al-Qur'an sebagai makhluq. Karena keberaniannya ini kemudian beliau dipenjarakan.
Tokoh sentral lainnya yang melakukan kritik dan penentangan terhadap paham Mu’tazilah adalah Abu Hasan Al-‘Asy’ari. Kaum Asy’ariah berpegang keras pada berpendapat bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Allah mestilah kekal. Sabda menurut Asy’ariah, sebagai jawaban terhadap teori Mu’tazilah tentang kalam sebagai suara yang tersusun atas kata-kata, dan merupakan peristiwa yang menganl awal dan pemilahan.
Asy’ariah mendefinisikan kalam sebagai arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda bukanlah apa yang tersusun dari huruf dan suara. Karena sabda itu tersusun hanya dalam arti kiasan (konsep). Sabda yang sebenarnya apa yang terletak di balik yang tersusun itu. Sabda yang tersusun apa dari huruf-huruf dan kata-kata bukanlah sabda Tuhan. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat tuhan. Dan al-Qur’an bukanlah apa-apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat itu, akan tetapi arti atau makna abstrak.
Pemikiran yang diajukan Asy’ariyah dalam menjawab argumen dan pemikiran Mu’tazilah yang mendasarkan pada dalil naqli dalam QS. An-Nahl, 30: 40 dan QS. Yasin, 36: 82, tentang kata “kun” sebagai perintah atau kalam Allah dalam “proses” menjadikan sesuatu yang dianggap Mu’tazilah sebagai sesuatu yang baharu, cukup menarik dan cerdas. Asy’ariyah menyatakan bahwa apabila kata “kun” itu baharu, sedangkan kata atau perintah “kun” itu merupakan syarat bagi terjadinya sesuatu, maka harus ada kata-kata “kun” lainnya sebelum munculnya kata “kun” tersebut, demikian seterusnya tanpa akhir.
Dalam hal ini Asy’ariyah memisahkan antara memerintah dengan menciptakan, seperti diungkap dalam Al-Qur’an :
Artinya :
“Ingatlah, hanya pada Allahlah hak mencipta dan memerintah.” (QS. Al-A’raaf: 54)
Al-Asy’ari menjelaskan maksud dari ayat diatas dengan: Ketika Dia berfirman, “Ingatlah pada Allahlah hak mencipta.” maka mencipta ini mencakup apa pun yang diciptakan oleh allah, dan ciptaan adalah makhluk; dan ketika berfirman “dan memerintah”, maka memerintah sebagai kalamullah, ini tidaklah termasuk apa pun yang dicipta. Dengan demikian maka mencipta dengan memerintah merupakan dua hakl yang berlainan. Maka dari itu, apa yang diuraikan di atas menegaskan pengertian bahwa Kalamullah (Al-Qur'an) bukanlah makhluk.

Analisis Ibnu Rusyd
Dalam memecahkan persoalan kalam salah satu metode yang digunakan oleh Ibnu Rusyd ialah dengan mengkritisi pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para mutakallimin. Menurut Ibnu Rusyd, pemikiran para mutakallimin belum bisa membawa keyakinan manusia secara menyeluruh, dikarenakan metode yang mereka gunakan susah difahami.
Dalam mengkritisi pemikiran-pemikiran mutakallimin, Ibnu Rusyd selalu memadukan antara dalil-dalil nash (wahyu) dengan logika. Ada beberapa golongan yang mendapat kritikan tajam bari Ibnu Rusyd mengena pemikiran kalamnya. Salah satunya adalah madzhab Hasywiyyah, yaitu aliran yang hanya berpegang kepada makna lahir dari nash, golongan ini tidak mengakui adanya pentakwilan terhadap dalil-dalil nash. Karena pendiriannya tersebut mereka kuga disebut Al-Zhahiriyyah.
Madzhab ini berkeyakinan bahwa hanyalah wahyu satu-satunya cara untuk mengetahui Allah. Akal tidak dapat mengetahui allah karena kemampuannya yang sangat lemah.
Ibnu Rusyd tidak sepenuhnya menyalahkan pemikiran golongan Hasywiyyah ini, karena memang ada beberapa orang yang hanya mampu memahami dzahirnya ayat saja. Yang menjadi persoalan bagi Ibnu Rusyd adalah bahwa aliran ini tidak mengakui argumen lain diluar nash. Mereka mewajibkan bagi setiap mu’min untuk berpedoman kepada dzahir nash saja, bahkan mengharamkan adanya takwil bagi semua nash, tidak terkecuali nash-nash yang bersifat tasybih.
Ibnun Rusyd berpendapat bahwa orang yang mengabaikan penggunaan akal seperti golongan Hasywiyyah ini telah melakukan suatu kesalahan. Karena pendapat tersebut justru bertentangan dengan Al-Qur'an. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya.
Selanjutnya adalah golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ariyah. Dalam masalah kedudukan akal dan wahyu, golongan mu’tazilah mengungkapkan; jika terjadi perdebatan antara pendapat akal dengan keterangan wahyu, akal harus berusaha mencari dan menganalisa makna sejati yang terkandung di dalam wahyu tersebut. Dalam hal ini mu’tazilah memberikan prioritas kepada akal dalam mencari kebenaran. Sedangkan golongan Asy’ariyah lebih menerima dan mengimani wahyu tersebut apa adanya. Menurut Ibnu Rusyd golongan Mu’tazilah terlalu besar memberikan porsi kepada akal sehingga mereka terlalu sering mentakwilkan ayat Al-Qur'an. Sedangkan golongan Asy’ariyah terlalu sedikit memberikan porsi kepada akal/ rasio.
Dalam permasalahan Al-Qur'an, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah kalam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an dikategorikan sebagai fi’il (perbuatan) Allah. Karena Al-Qur'an memiliki huruf dan suara, maka Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan tidak qodim. Dan yang qodim hanyalah Allah.
Namun sebaliknya, Asy’ariyah berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah qodim. Asy’ariyah melihat Al-Qur'an dari sumber datangnya. Sejatinya Al-Qur'an itu berada pada sisi Allah, sedangkan apa saja yang berupa huruf, suara, dan tertulis dalam mushaf adalah ungkapan dari apa yang ada pada sisi Allah. Oleh karena itu golongan ini meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah yang qodim.
Ibnu Rusyd tidak menolak pemikiran Mu’tazilah bahwa Al-Qur'an diciptakan, namun dia juga tidak menolak pemikiran Al-Asy’ari akan keqodiman Al-Qur'an. Menurutnya Al-Qur'an adalah kalam yang termasuk sifat af’al dan bertujuan untuk memberikan pengertian sesuatu kepada pendengar. Allah menganugerahkan kepada manusia untuk memahami Al-Qur'an melalui penggunaan ungkapan (lafzhi).
Ibnu Rusyd mengungkapkan berdasarkan firman Allah Q.S asy-syura : 51 :
Artinya :
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Ibnu rusyd cenderung menekankan keberadaan Al-Qur'an di sisi Allah dari pada keberadaannya di sisi manusia. Di sisi Allah Al-Qur'an memiliki bahasa tersendiri dimana hanya Allah yang mengetahuinya. Karena itu Allah menurunkan Al-Qur'an dengan bahasa manusia melalui seorang Rosul.
Jadi, Al-Qur'an berasal dari Allah sedangkan bahasanya adalah perbuatan manusia. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Al-Qur'an mengandung dua aspek, yaitu aspek kemakhlukan dari sisi keberadaannya yang berhuruf dan bersuara. Dan Al-Qur'an juga memiliki aspek qodim dari asalnya, yaitu dari Allah SWT.

KESIMPULAN

Perbedaan pendapat yang terjadi antara beberapa aliran teologi Islam pada dasarnya dipengaruhi oleh metode pendekatan mereka dalam memahami persoalan kalam. Semua aliran-aliran tersebut pada dasarnya menjadikan akal dan wahyu sebagai sumber dalam memperoleh pengetahuan dan keyakinan. Namun pada penerapannya, porsi yang diberikan kepada akal dan wahyu oleh aliran-aliran tersebut berbeda-beda, sehingga menimbulkan perbedaan dalam hasil yang dicapainya.
Terdapat beberapa aliran yang menempatkn akal sebagai sumber dari segala pengetahuan dengan porsi superior. Pemikiran mereka cenderung bersifat rasionalistis sehingga terkadang pemikiran tersebut jauh menyimpang dari nash (wahyu).
Ada pula aliran yang terlalu menempatkan wahyu sebagai sumber dari segala-galanya dan menganggap bahwa akal manusia tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan. Pemikiran mereka cenderung terpahu kepada nash-nash (wahyu) dan tidak mau menerima sesuatupun yang berasal dari rasio.
Dalam hal ini, Inbu Rusyd mencoba memadukan penggunaan akal dan wahyu sebagai sumber dari pengetahuan dengan porsi yang seimbang. Ibnu Rusyd selalu menyerukan dalam mengatasi segala sesuatu untuk kembali kepada nash Al-Qur'an, yaitu dengan memahami makna yang terkan dung didalamnya.


No comments:

Post a Comment

Berikan Komentar Anda Di Sini