Monday, October 29, 2012

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

PEMBAJAKAN HKI DALAM PANDANGAN ISLAM

Pembahasan tentang pembajakan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia sesungguhnya pambahasan yang masih baru dikancah hukum, baik hukum positif apalagi hukum Islam. Pembajakan perangkat lunak, patent, lisensi, dan lain-lain merupakan salah satu masalah yang sering menjadi perdebatan. Apakah pembajakan terhadap apa yang sekarang ini disebut sebagai 'Intellectual Property Rights' (IPR) merupakan tindak pidana pencurian di dalam hukum Islam?
Meskipun keberadaan Hak atas Kekayaan intelektual pada dasarnya ada yang dihasilkan oleh dan memerlukan bentukan alam seperti indikasi geografis, namun kebanyakan HKI lebih dialamatkan kepada kegiatan manusia. Lahirnya sebuah karya yang dihasilkan oleh manusia dengan berbekal kemampuan intelektualitasnya itu secara otomatis memunculkan hak dan kewajiban. Sederhananya, hak yang melekat pada diri si pencipta dan kewajiban yang mengikat orang lain itulah yang kemudian menuntut peran hukum untuk mengawalnya. Karena HKI merupakan realitas hukum yang tidak dapat dihindari. Peran penting hukum di setiap timbulnya hak individu (terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual) itu secara ilustratif bisa dijelaskan melalui asumsi bahwa dalam perjalanannya nanti pastinya akan terjadi persinggungan antara hak dan kewajiban tersebut.

Mengenai hal ini, Indonesia sudah patut berbangga hati karena sudah mempunyai perangkat hukum (Legal Framework) yang jelas mengenai dilindunginya Hak atas Kekayaan Intelektual setelah beberapa kali mengalami penyempurnaan, yaitu dengan disahkannya Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merk, dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Perlindungan Hak dalam Islam
Bagaimana perhatian Islam terhadap hak milik seseorang kiranya tidak perlu kita ragukan lagi. Terlalu banyak nash yang menjelaskan bagaimana pengaturan Islam terhadap hak milik seseorang. Baik dalam al Qur’an ataupun hadist perkara pemerliharaan hak milik seseorang banyak diatur. Salah satunya adalah pengaturan Islam terhadap memperoleh sesuatu barang dengan cara yang sesuai dengan ketentuan. Tujuan utama hukum Islam sendiri pada dasarnya adalah untuk melindungi hak milik umat manusia. Hal ini sebagimana dirumuskan oleh bahwa Al-Ghazali, bahwa tujuan utama hukum syariat Islam adalah memelihara lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala bentuk upaya untuk memelihara kelima macam ini dipandang sebagai maslahat, dan merusaknya adalah mafsadat. 

Di dalam Islam, hukum mencuri yang merupakan pelanggaran terhadap hak milik, ditegaskan di dalam Al-Quran: 'Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan Maha Bijaksana' . (Q.S. Al Maidah: 38 ). Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: 'Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.' (Riwayat Bukhari) 

Setelah sekilas kita membahas hukum mencuri, kita perlu membahas apa yang dimaksud dengan hak di dalam Islam. Berikut ini pandangan tentang hak Mustofa Zarqa' (dikutip, diringkas, dan diolah dari Pesantren Virtual: http://www.pesantrenvirtual.com). Hak didefnisikan sebagai "kekhususan yang diakui oleh syariat Islam, baik itu berupa otoritas atau pembebanan".

Berikut ini terdapat dua pendapat yang berkembang mengenai hak kekeyaan intelektual ini, Yaitu :

Mereka Yang Menganggap Pembajakan HKI Adalah Tindakan Haram.
Dengan pertimbangan:
Hak milik intelektual (Intellectual Property Rights - IPR) itu harus dilindungi karena merupakan prasyarat inovasi dan pembangunan. Kalau tidak dilindungi maka orang akan malas untuk melakukan penemuan maka akibatnya inovasi terhambat, dan ujung-ujungnya kira-kira pembangunan akan terhambat pula. Kemakmuran bangsa akan berkurang dan ini jelas merugikan. Seorang penemu juga telah menginvestasikan waktu, tenaga, uang, dan sumberdaya lainnya, sehingga sangat pantas apabila apa yang sudah dikeluarkan itu dihargai. Jika kita sepakat dalam pandangan ini, maka pencurian terhadap hak milik intelektual sama saja dengan pencurian terhadap hak-hak lain yang dilindungi. Islam jelas melarang tindakan zalim suatu pihak terhadap pihak lain.
 
MUI, melalui Ketua Komisi Fatwa KH Ma'ruf Amin, beberapa waktu lalu juga sempat megeluarkan fatwa mengenai peroalan ini :
Menyangkut masalah pembajakan, kata Ma'ruf, Allah SWT berfirman dalam QS Syura 25-183, " Janganglah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan, janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan,". Dalam sebuah Hadist HR Tirmizi juka dikatakan sesungguhnya darah (jiwa) dan hartamu adalah haram. Hal tersebut mengandung arti bahwa manusia dilarang menafkahkan dirinya (jiwa yang mulia) dengan hasil yang telah merugikan orang lain. "Segala bentuk pelanggaran yang menyangkut hak cipta terutama yang berkaitan dengan pembajakan hak cipta maka tindakan itu hukumnya haram,"
 
PENDAPAT  KEDUA
Hak milik intelektual ini justru merugikan kepentingan publik (kemaslahatan umum) karena akan semakin memperkecil hak-hak publik menjadi hak-hak private (individu atau perusahaan).
Kalau kita mengikuti pendapat kedua ini, maka kita akan melihat betapa perlindungan hak milik intelektual ini justru akan merugikan masyarakat luas. Kalau merugikan, maka Islam justru harus membuat aturan untuk meminimalisir hal-hal yg merugian masyarakat.
 
Di dalam hukum Islam, karena tidak adanya dalil yang ekplisit yang membahasnya, maka sumber hukum yang digunakan biasanya adalah adalah maslahah mursalah (kemaslahatan umum), yaitu bahwa setiap sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, dan mempunyai nilai mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, hukumnya harus ditegakkan. Dengan kata lain, HUKUM HARUS DITEGAKKAN UNTUK MEMAKSIMUMKAN KEBAIKAN DAN MEMINIMUMKAN KERUGIAN BAGI MASYARAKAT.
 
Bagaimana Kemashlahatan Umum Menurut Islam?
Ketika kita berbicara 'kemaslahatan umum' maka mau tak mau kita bersentuhan dengan berbagai macam pandangan dalam apa yang disebut sekarang ini sebagai ilmu-ilmu sosial. Nah, kalau dikembalikan kepada hukum Islam maka kita bisa memakai kaidah: "Idza Taa'radal Maslahatan, Quddima A'dlamu huma" yang maksudnya apabila terjadi dua maslahat yang bertentangan, maka ambillah yang memiliki kemaslahatan yang lebih besar. Masalahnya, YANG LEBIH BESAR MENURUT SIAPA? 
 
Pendapat yang menarik bisa dilihat pada tulisan George Monbiot, di Guardian, tanggal 12 Maret 2002, yg berjudul 'Patent Nonsense'. Dari tulisan itu kita bisa memahami bahwa rejim patent hanya menguntungkan segelintir perusahaan swasta bukan masyarakat umum. Dibuktikan pula melalui analisis sejarah ekonomi Erich Schiff, bahwa tidak benar bahwa kalau patent tidak dilindungi maka inovasi akan terhambat. Dicontohkan bahwa Swiss dan Belanda, adalah dua negara yang dalam sejarahnya tidak mau menerapkan undang-undang patent, banyak industrinya yang mencuri patent, namun justru saat itulah berkembang penemuan-penemuan dan perusahaan-perusahaan besar dari sana. Beberapa perusahaan Swiss seperti Nestle dan Ciba; juga perusahaan Belanda seperti Unilever dan Philips, adalah perusahaan yang tumbuh karena 'berkah' mencuri patent atau tidak adanya aturan patent itu. 

Dalam stuktur masyarakat seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan besar terus akan berjuang untuk mempertahankan dominasi mereka demi kemaslahatan mereka sendiri. Negara-negara kuat akan terus mengkhotbahkan perdagangan bebas agar produk-produk negaranya bisa menorobos masuk ke seluruh penjuru dunia.


SEKEDAR PEMBANDING
Pada abad ke sembilan dan kesepuluh masehi ketika dunia islam dipimpin oleh kesultanan Abasyiah, beberapa orang sultan (diantaranya Harun dan Ma’mun Al Rasyid) giat melakukan pengembangan pengetahuan mengenai filsafat (terutama hellenisme) pengobatan, matematika, dan ilmu pengetahuan lainnya. Untuk menunjang usaha ini mereka membuat Bait Al Hikmah, sedangkan usaha lainnya, ialah dengan memberikan jaminan kehidupan yang lebih dari sekedar penyambung hidup untuk para penulis yang memiliki karya.

Makmun dan Harun Al Rasyid, menghargai karya penulis dengan menimbang karyanya yang kemudian menggantinya dengan emas. Tolak ukur pembayarannya adalah berat timbangan karya si penulis. Ibaratnya jika karya si penulis setelah ditimbang beratnya ternyata satu kilo maka Negara akan menggantinya dengan emas seberat satu kilo juga. Setelah penulis diberikan haknya, kesultanan Abasyiah, mempersilahkan masyarakat untuk mengakses karya penulis, menggunakan berbagai cara, menyalinnya sendiri, atau menyebarluaskannya meski dengan tujuan komersialisasi. Terserah, sebab Negara sudah menuntaskan hak penulis dan hak masyarakat untuk mengakses pengetahuan yang murah.


No comments:

Post a Comment

Berikan Komentar Anda Di Sini